<body><script type="text/javascript"> function setAttributeOnload(object, attribute, val) { if(window.addEventListener) { window.addEventListener('load', function(){ object[attribute] = val; }, false); } else { window.attachEvent('onload', function(){ object[attribute] = val; }); } } </script> <div id="navbar-iframe-container"></div> <script type="text/javascript" src="https://apis.google.com/js/platform.js"></script> <script type="text/javascript"> gapi.load("gapi.iframes:gapi.iframes.style.bubble", function() { if (gapi.iframes && gapi.iframes.getContext) { gapi.iframes.getContext().openChild({ url: 'https://www.blogger.com/navbar.g?targetBlogID\x3d6581471201873128981\x26blogName\x3dCerpen+-+nya+Mugi\x26publishMode\x3dPUBLISH_MODE_BLOGSPOT\x26navbarType\x3dBLUE\x26layoutType\x3dCLASSIC\x26searchRoot\x3dhttps://mugi-cerpen.blogspot.com/search\x26blogLocale\x3den_US\x26v\x3d2\x26homepageUrl\x3dhttp://mugi-cerpen.blogspot.com/\x26vt\x3d-8510118826213891906', where: document.getElementById("navbar-iframe-container"), id: "navbar-iframe" }); } }); </script>

25 June 2007


BADAI

“Ayah bukan membantu mereka! Ayah justru membunuh jiwa mereka!” Siraman kata ini membuatku panas, yang tanpa perlu dikipasi, akupun terpancing.

“Tak ada orang yang mampu membunuh jiwa orang lain, meskipun kepala mereka dipisahkan dari badan, jantung mereka ditikam, tapi jiwa takkan pernah mati; Jiwa itu kekal!” sambarku.

------------------------

Malam ini tidak terdengar denting gitar yang biasa dimainkan anak-anak remaja di tikungan depan rumahku, tidakpula debat sengit terjadi antara kucing jantan satu dengan lainnya, yang biasa mereka lakukan saat memperebutkan betina ,yang akan ditumpangi demi kelanjutan keturunannya. Sungguh malam tenang, malam yang membuatku larut dalam tumpukan data, gelombang ide, riak-riak keraguan, harap-harap cemas akan batas waktu. Begitu asyiknya Aku, sampai-sampai tak sadar akan datangnya angin ribut. Udara memang terasa gerah; berkali-kali kuseka keringat, bahkan sampai kutanggalkan kaos oblong tipis bolong-bolong yang membuat nyaman dalam peraduan. Lamat-lamat terdengar suara tiang listrik yang dipukul sebanyak tiga kali.

“Hmm sudah jam tiga rupanya” gumamku yang masih belum menyadari, hingga hujan mulai turun dengan tetesan yang berat; tersentak aku berkelebat menuju pintu dan jendela untuk menutupnya.

“Pantas saja kurasakan kelainan suasana tadi, rupanya akan ada hujan lebat” pikirku sambil mengunci pintu pagar. Di atas, langit tidak ada warna lain selain hitam, angin tidak memiliki jalan lain selain menabrak kesana-sini layaknya gajah yang baru saja kehilangan penglihatannya akibat tertusuk di kedua matanya, sedangkan jalan kecil depan rumahku; tak ada yang bisa kugambarkan, hanya berupa anyaman rapat dari air yang sepertinya hendak dihabiskan tanpa sisa di awan. Setelah masuk dan mengunci pintu ruang tamu yang hanya berjarak sedepa dengan meja komputer berbentuk lemari, kembali aku kumpulkan ceceran sisa-sisa ide yang sempat buyar.

“Makalah ini harus segera kuselesaikan, agar besok dapat kulihat senyum bahagia temanku yang membayangkan status karyawan tetap, seperti dambaannya” akupun ikut tersenyum seolah itu adalah kebahagiaanku. Upah yang tidak seberapa dari kerja sampingan ini sungguh menyuguhkan kebahagiaan tersendiri, kebahagiaan sejati; setidaknya itu yang ada dalam pikiran, diperkuat menjadi keyakinan.

Mendadak masuk ke ruangan tempatku bekerja, cahaya melebihi terangnya lampu ruang tamu. Belum sempat otak mencerna apa yang baru terjadi, sebuah suara yang sungguh merontokkan nyali, tepat memalu jantung. Petir disertai Guntur yang berangkulan, pertanda dekatnya kejadian.

Setelah mampu menguasai suasana hati dan pikiran, bangkitku dari kursi tertahan suara pintu kamar yang dibuka, dimana istri dan anak-anakku tidur.

“Astaga! Hujannya bukan main! Seru istriku sambil melafalkan do’a memohon perlindungan.

“Iya Bu! Tapi tenang saja, semua pintu dan jendela sudah Ayah periksa, juga sudah Ayah kunci, Ibu tidur saja kembali—mudah-mudahan hujan segera usai!” kuucapkan kata itu sambil memeluknya, karena tampak jelas ketakutan menggelayuti wajahnya yang tetap saja terlihat manis meski kecemasan merundungnya.

“Bagaimana Ibu bisa tenang Yah? Kalau hujan ini tidak segera berhenti, maka bukan tidak mungkin kita juga akan didera banjir seperti tetangga kampung kita di barat, timur dan selatan yang tahun lalu jadi korban banjir”

“Iya benar! Tapi posisi rumah kita belum pernah ada sejarahnya kena banjir, lagipula hujan lebat seperti ini biasanya tidak akan berlangsung lama” Kata ini kuucapkan lebih mirip sebuah doa daripada argumentasi. Di luar sana Alam masih saja menunjukkan kekuatannya dengan menyabung petir terus menerus. Sementara hujan turun dipacu angin yang membuat rumah-rumah di sekeliling tidak tampak lagi, suara kami tenggelam dalam riuh hujan yang menghantam tirai bambu dan atap rendah Gazebo. Pohon Kantil yang seharian tadi menebarkan keharuman bunganya, kini tumbang dibabat petir. Sedetik udara terang-benderang diikuti bunyi dentuman yang menggetarkan lantai keramik tempat kami berpijak.

“Ya ampun Ayah! Rumah kita bisa hancur berantakan kalau petir itu menyambar” pekik istriku yang mendadak merapatkan tubuhnya ke dinding.

“Ibu,” kataku, “Jangan khawatir. Tak mungkin terjadi apa-apa. Rumah kita masih terlalu rendah untuk disambar petir bila dibandingkan bangunan di belakang rumah, lagipula masih banyak pohon-kelapa di sekitarnya” Ucapku sambil menggandengnya untuk kembali ke kamar guna menemani anak kami yang masih tertidur pulas, tidak terganggu kenyenyakannya, mungkin karena terlalu letih akibat bermain sesiangan tadi.

“Nah, sudah tenang sekarang?” tanyaku saat kuambil kaos yang tadi kulepaskan, untuk kukenakan kembali, bersamaan hujan yang mulai kehabisan air untuk ditumpahkan dan angin mulai kehabisan tenaganya, bahkan petir tidak lagi terdengar gaungnya.

“Iya, sudah” senyum istriku mulai mengembang, namun dengan mata penuh selidik menatapku.

“Ayah tadi sedang melakukan apa?, selarut ini belum juga tidur?

“Biasa!” Jawabku enteng. “Membantu orang membuat tulisan”

“Membantu atau menghancurkan?” jelas terdengar sangat ketus pertanyaannya.

“Menghancurkan bagaimana?” tanyaku tersinggung. Belum pernah istriku mengucapkan hal-hal yang menyakitkan sehubungan dengan kegiatanku membantu orang dengan menulis.

“Ayah bukan membantu mereka! Ayah justru membunuh jiwa mereka!” Siraman kata ini membuatku panas, yang tanpa perlu dikipasi, akupun terpancing.

“Tak ada orang yang mampu membunuh jiwa orang lain, meskipun kepala mereka dipisahkan dari badan, jantung mereka ditikam, tapi jiwa takkan pernah mati; Jiwa itu kekal!” sambarku.

“Baik! Ibu ralat, Ayah mengerdilkan jiwa mereka!, dengan dalih membantu, sebetulnya Ayah hanya bermaksud mengambil keuntungan dari mereka!” tuduh istriku sungguh-sungguh.

“Mengambil keuntungan? Bagaimana mungkin? Ayah tidak pernah meminta bayaran yang tinggi kepada siapa saja yang memerlukan bantuan untuk tulisannya” dalihku membela diri sambil bertanya dalam hati mengenai efek yang mungkin timbul dari rasa kaget, takut, cemas. Adakah hal itu bisa berpengaruh langsung terhadap jiwa seseorang, jiwa istriku terutama.

“Memang Ayah tidak mengambil keuntungan secara materi, tetapi Ayah mengambil kesempatan mereka untuk belajar, kesempatan mereka untuk tahu, kesempatan mereka untuk jadi pintar, setidaknya mereka dapat mempertanggung-jawabkan apa yang mereka ajukan, bila itu mereka buat sendiri dengan idenya, tenaganya.” Tanpa memberiku waktu sela, “Tapi apa yang mereka dapat? Jabatan? Kedudukan? Nilai tinggi di kampus? Okelah.. itu semua mereka bisa dapat. Tapi apakah mereka memang pantas mendapatkannya? Apa mereka berkompeten untuk itu? Ibu jamin: Mereka hanya mengejar kesenangan sesaat—Jabatan atau penghasilan yang mereka terima dari usaha mereka mengkhianati kepercayaan.” Sebuah tamparan keras baru saja dilayangkan oleh istriku, namun masih berlanjut. “Setelah mereka dapatkan apa yang mereka hasratkan, apakah ada keinginan mereka untuk menulis lagi? Baik hal yang berhubungan dengan pekerjaannya? Dengan tugasnya? Atau menulis tentang ide-ide atau gagasan mereka? 100% Tidak!” dengan mata menyala seolah Aku adalah tikus santapan yang akan dilahapnya.

“Lantas! Dimana kesalahan Ayah?” tanyaku bodoh

“Ayah masih bertanya?” istriku mencibir. “Coba Tanya, Siapa yang membuat mereka mengambil jalan pintas memenuhi hasrat duniawinya? Bahkan mungkin nafsu sexnya?” Tanya istriku bernada tuduhan.

“Oke! Kalau hasrat duniawi, tapi soal sex-apa relevansinya?” ucapku sambil menjauh karena tersinggung.

“Bukan tidak mungkin Ayah membuatkan seseorang surat cinta, sajak cinta, puisi cinta untuk digunakan menipu orang lain. Ungkapan palsu! Tidak murni! Karena bukan diucapkan dari hati sendiri, melainkan ucapan yang sesuai pesanan guna dapat mereguk tubuh orang yang diincarnya.” Kata-kata ini kurasakan bersayap, lebih terdengar sebagai tuduhan, tuduhan bahwa aku berselingkuh. Tuduhan yang pedih, sepedih gelegar halilintar yang kembali memperlihatkan kekuatannya, dan, angin yang menebarkan gumpalan-gumpalan air hujan, kembali berpusar.

“Ingat Ayah! Ayah bukan pohon Kalpataru, yang dapat memenuhi hasrat orang lain dengan alasan membantu.” Ia mengingatkan Aku tentang sebuah kisah yang kuceritakan padanya, cerita yang pernah ada dari negeri India, tentang sebuah pohon yang hanya berbuah 4 macam: Kekuasaan, Kejayaan, Kekayaan dan Seks. Dimana orang tidak akan pernah merasa puas dalam memenuhi keinginan nafsu duniawinya. Mereka akan terus datang untuk meminta pada pohon Kalpataru salah satu atau mungkin keempatnya, namun mereka akan terus tersiksa dengan keinginannya yang tak pernah bisa terpuaskan.

“Ayah tak pernah berpikir untuk menjadi pemuas nafsu orang lain, terlebih lagi soal seks”, kini bendungan yang menahan gelombang tuduhan, akhirnya ambrol; aku muntab “Ibu selalu menuduh suami berbuat serong, tanpa pikir panjang lagi langsung meyakini prasangka di hati sebagai suatu kebenaran mutlak” tanpa jeda, aku teruskan nafsu amarahku, apalagi kulihat ia ingin mengatakan sesuatu, yang jelas sudah tak ingin kudengarkan, “Ayah kurang apa? Hah! Pulang kerja langsung menjemputmu di kantor, setelah di rumah hanya mengganti sepatu dengan sandal, kemudian mengantarmu kuliah”, raut wajah istri melukiskan ketidaksenangan dengan kebaikan yang diungkit-ungkit, namun aku tidak peduli, “Pulang mengantar, Aku urus anak-anak di rumah, mengurus belajar anak, sementara sambil mengajak adiknya bermain”. Kemudian “Setelah itu menjemputmu dan kembali membantumu mengurus kesiapan anak-anak menjelang tidur; Lantas kapan waktunya yang kamu curigai, untuk suamimu berbuat serong?” Tidak ada lagi panggilan ayah atau ibu antara kami, panggilan mesra yang biasa kami ucapkan.

“Kalau orang mau berbuat serong sih, sangat banyak jalannya” kembali istriku berpikir dengan perasaannya. “Dahulu, pulang juga tepat waktu, tidak ada tanda-tanda mencurigakan, tapi nyatanya: hampir tiap malam bikin surat mesra buat wanita lain.” Kini ia mulai mengungkit kisah kelam rumah tangga kami. Lanjutnya “Dahulu belum ada teknologi handphone, internet juga masih satu dua yang menggunakan, tapi bisa kan kamu selingkuh?”

“Kenapa kamu gali masa lalu? Tidak ada relevansinya dengan kejadian sekarang.” Tiba-tiba kurasakan bahwa malam ini akan menjadi malam yang panjang. Langsung ditimpali istriku “Aku tidak bermaksud mengungkit yang lalu, kalau saja kamu tidak mengungkit apa saja yang telah kamu lakukan selama ini” ucap istriku dengan membenturkan pernyataanku sebelumnya, yang telah berubah banyak dan tentang jasaku selama ini.

Akhirnya, kami benar-benar bertengkar, sebuah pertengkaran hebat. Istriku sepertinya sudah tidak peduli lagi. Ketika anakku terbangun, ia tetap saja meluapkan amarahnya. Kudekati anak pertamaku yang terbangun karena suara gaduh kami. Kupeluk dia sambil tiduran di sampingnya. “Ayah”, panggil anakku. “Ada apa nak?” tanyaku khawatir, melihat matanya yang digenangi air, siap tumpah sebagai tangisan. “Kenapa ayah bertengkar dengan ibu? Ibu salah apa ayah?” Pertanyaan anakku langsung disambar istriku, “Ayah tidak mau Ibu suruh tidur, malah bicara yang tidak-tidak.”

Aku terdiam, antara amarah dan bimbang. Marah dengan ucapan istriku dan bimbang menentukan kapan pertengkaran ini berakhir. Ini harus diakhiri. Hujan yang disertai angin ribut dan petir yang saling bekejaran, masih saja sama, sepertinya belum juga akan berakhir. Sementara istriku terus bicara sambil berjalan, sesekali menendang apa-apa yang ia rasa menghalangi langkahnya. Aku tak ingin ini terus berlangsung, setidaknya ditunda. Masa reses biasanya berguna, untuk kami saling mengoreksi diri, juga meredam amarah.

Aku tak lagi mendengarkan apa-apa yang diucapkan istriku. Kucoba diam saja dengan terus menenangkan anakku, hingga kembali terlelap. Kali ini sepertinya adalah klimaks dari amarah istriku. Banyak ucapannya yang bergetar menahan tangis yang tak juga mampu ia tahan; diapun menangis. Senjata wanita dalam debat logika ini, adalah pamungkasnya. Aku luluh.

Aku tak tahan melihatnya menangis. Wanita yang dahulu kujanjikan kesetiaan, kujanjikan kebahagiaan, bila ia mau menikah denganku; ternyata menangis oleh ulahku. Terlebih lagi saat ia tanyakan tentang cintaku, tentang kasih sayangku. Dia rela diceraikan bila itu semua tak ada. “Akh..! istriku, mengapa ini menyimpang semakin jauh” batinku.

Kulihat istriku ke luar kamar. Dari suara keras yang kudengar, sepertinya ia sedang mengambil air untuk minum. “Semoga air itu bisa menenangkanmu” namun tak kuucapkan, karena pada saat itu ia sudah kembali masuk kamar.

“Jadi, mau Ibu, Ayah harus bagaimana?” ucapku melunak. “Tapi kita tidak perlu lagi membicarakan hal-hal yang tidak berguna, kita kembali ke masalah awal.” Entah mengapa, badai di luar sana tak lagi mengamuk seperti sebelumnya. Hanya kudengar suara gerimis yang meski pelan, terasa mengiris.

“Kalau pilihan hidup Ayah ingin menjadi penulis, jadilah secara keseluruhan! Buatlah atas nama sendiri. Kalau tak ingin nama asli, Ayah bisa gunakan samaran. Jangan terus seperti ini! Tidak menghargai waktu, termasuk waktu yang diberikan Tuhan buat istirahat” ucapnya mereda melihat respon positif dari mataku.

“Baik! Sekarang—Ibu tidurlah! Beri Ayah waktu berpikir.” Pintaku bimbang.
Kini, haruskah Aku menjadi seperti yang diinginkan istriku? Atau terus menerus seperti sekarang? Oh.. Istriku: Aku tidak takut dunia tidak mengenalku, tapi aku takut bila tidak mengenal dunia. Kini engkau menunjukkanku dunia yang lain, sebuah dunia lama, namun baru untukku.

Sebuah keyakinan baru timbul menghimpit paradigma lama, meski belum cukup kuat. “Kini aku adalah ombak, jika aku bergulung, maka aku ada.”

“Sebenarnya, untuk apa Aku hidup?” Lahir, besar, tua lalu mati? Akhh.. pikiran!”. Masih saja pikiran ini berkecamuk, entah menit keberapa sudah kuhabiskan.
Aku merebahkan tubuh di samping istriku yang telah tidur kembali, sementara di luar sana badai sudah berhenti.

Jakarta, 23 Juni 2007
Salam Bahagia
-Mugi Subagyo-

1 Comments:

Anonymous Anonymous said...

"Aku tidak takut dunia tidak mengenalku, tapi aku takut bila tidak mengenal dunia."

itu kurasa kata penulis yang murni,
yang begitu bermakna sekali

11:18 AM  

Post a Comment

<< Home


Islamic Calendar Widgets by Alhabib
Free Hijri Date

Kecantikan seseorang harus dilihat dari matanya, karena itulah pintu hatinya - tempat dimana cinta itu ada.