<body><script type="text/javascript"> function setAttributeOnload(object, attribute, val) { if(window.addEventListener) { window.addEventListener('load', function(){ object[attribute] = val; }, false); } else { window.attachEvent('onload', function(){ object[attribute] = val; }); } } </script> <div id="navbar-iframe-container"></div> <script type="text/javascript" src="https://apis.google.com/js/platform.js"></script> <script type="text/javascript"> gapi.load("gapi.iframes:gapi.iframes.style.bubble", function() { if (gapi.iframes && gapi.iframes.getContext) { gapi.iframes.getContext().openChild({ url: 'https://www.blogger.com/navbar.g?targetBlogID\x3d6581471201873128981\x26blogName\x3dCerpen+-+nya+Mugi\x26publishMode\x3dPUBLISH_MODE_BLOGSPOT\x26navbarType\x3dBLUE\x26layoutType\x3dCLASSIC\x26searchRoot\x3dhttps://mugi-cerpen.blogspot.com/search\x26blogLocale\x3den_US\x26v\x3d2\x26homepageUrl\x3dhttp://mugi-cerpen.blogspot.com/\x26vt\x3d-8510118826213891906', where: document.getElementById("navbar-iframe-container"), id: "navbar-iframe" }); } }); </script>

25 June 2007


Tentang Puisi yang Berapi

Di lantai dua rumahku, di sebuah ruang tempatku menyusun buku yang disusun rapi dalam lemari. Diantara tumpukan dokumen, ada sebuah kotak dari kardus yang selalu kubersihkan; seingatku itu bekas kotak sepatuku, dibelikan bapakku dua puluh tahun yang lalu. Biasanya kotak itu hanya kubersihkan dengan kain lap, itupun sudah lama sekali, lalu kuletakkan kembali. Kali ini rasanya aku berkesempatan untuk membuka dan melihat isi dalamnya. Lebih banyak piagam penghargaan atas nilai-nilai bagus dan prestasiku di bidang ilmu pasti. Kejuaraan Matematika, penghargaan Fisika terbaik, Kimia, Biologi, Geografi dan Astronomi, hanya satu lembar kertas tua yang agak kekuningan dimakan usia; sebuah puisi.

Sambil bersila, kubuka kertas yang dilipat dua tersebut, di pojok kiri atas tertulis “Untuk yang terbaik”, di kiri bawah ada namamu; Ariwidya Indreswari, wanita pertama yang merampas hatiku, membuatku tertelikung rasa cinta yang tak menentu. Kubaca puisi itu, puisi tentang penolakan atas tawaran cintaku. Puisi yang membuatku terbakar api kesedihan dan amarah.

Ada sembilu tertanam di kalbu
Ketika kau minta tubuhku, bukankah telah kuberikan hatiku
Usahaku ternyata sia-sia

Mungkin persahabatan erat membuatmu ragu akan umurnya
Engkau harapkan keabadian yang pasti
Namun tiada pernah akan kau dapat yang pasti, kecuali mati
Cukuplah kau katakan itu, jangan dilanjutkan
Impianmu membuat ragu jalan hidup yang akan kau tempuh
Nelangsa batin rela kujalani
Tapi jangan kubur aku, lemparkan saja aku ke padang datar
Atau jauh ke tengah lautan
Ingin aku bebas, jangan kau sekap aku dalam kubur
Meski jasadku tercabik dibawa hewan pemangsa, aku rela
Untukmu yang menunggu jawabku

Kenangan itu membetot mundur ke masa dua puluh tahun lewat. Ada tawaran kerja untukku di Jakarta, dengan imbalan yang tinggi, apalagi buat kita yang tinggal di pinggir Jogjakarta. Lantas kukatakan bahwa aku lebih menyukai kota kita, lebih menyukai bekerja di sini, lebih menyukai dekat denganmu, karena engkaulah dian semangatku. Kau yang menyemangati saat aku tak mampu menciptakan sebuah rumus singkat matematika, kau yang membantuku mengumpulkan bahan untuk penelitian tanaman, mencarikan buku-buku referensi karena aku tak mampu untuk membeli dan tak terhitung bantuanmu padaku. Padahal aku hanya sekali saja membantumu, itupun saat kita masih anak-anak.

Siang itu kamu menangis ketakutan di atas pohon Jambu Batu, karena dua tangkai di bawahmu ada tiga anak lelaki yang menakutimu, mungkin hanya sekedar menggodamu, karena Widya Kecil adalah “anak aneh” yang suka bicara dengan pohon, bercanda dengan hewan. Tapi aku tak peduli tentangmu, aku hanya kasihan. Jadi kupanjat pohon dan kuhajar mereka satu persatu, hingga ketiganya jatuh. Dua diantaranya patah tulang lengannya. Aku tak peduli, lalu pulang.

Sore harinya kudapatkan buah atas tindakanku, Bapak yang mendapat pengaduan dari orang tua anak-anak tadi, menghajarku dengan apa saja yang di dekatnya: batang bambu, sapu lidi, ikat pinggang, tangan dan kaki bapakku juga entah berapa kali berkunjung di tubuhku. Aku tak tahu apa yang kurasakan saat itu, karena membuka matapun aku tak sanggup, hanya kudengar suara ibu yang menangis. Aku hanya ingat, tidak satupun yang kukatakan tentangmu Widya, tidak kukatakan bahwa aku membela “anak aneh” yang diganggu. Tidak!

Rupanya kau menyaksikan pelajaran yang kuterima sore itu, kau menangis.

Setelah besar kamu lebih menyukai seni, puisi, drama, tari dan hal-hal lembut lainnya. Kamu hanya berubah kaku, tegas, penuh semangat, saat melihatku kesulitan. Kau selalu tahu, dan itu sebabnya saat pertama kali kutanyakan padamu “Darimana kamu tahu kalau aku punya masalah? Apa teman-temanku memberitahumu?” dengan sedikit tersinggung. Mana ada lelaki yang mengeluh minta bantuan pada seorang wanita, kecuali dia tak memiliki harga diri.

“Semua orang bisa tahu isi hatimu, kamu orang yang jujur, berani dan teguh memegang prinsip, tapi juga bodoh” mantap sekali kau katakan itu.

“Bodoh?” Dengan nilai di sekolah yang selalu tinggi, tentunya aku heran mendengar pernyataan ini.

“Iya, Bodoh!” matanya nanar menatapku “Kamu pikir dengan semua nilaimu yang selalu tinggi di sekolah itu bisa membuatmu berhasil? Tanyanya serius. “Tidak! Tak pernah ada yang berhasil hanya bermodal itu semua” dan lanjutnya “Hanya ketekunan yang bisa membuatmu jadi Orang!”.

Dan selanjutnya kita berteman. Persahabatan yang berat sebelah menurutku. Kamu memliki perhatian lebih terhadap apa-apa yang kulakukan dan mendukung sepenuhnya. Tapi aku tak memiliki sedikitpun ketertarikan atas apa yang kamu sukai: Tari, puisi, drama dan ah.. apalagi! aku tak suka semua itu. Tapi kamu setia merajut hari bersamaku, hingga kusadari telah tumbuh benih cinta di lubuk hatiku.

Aku ingat saat memintamu bersedia menerima cintaku, dengan kesungguhan hati. Kau masuk kamar, sebentar kemudian keluar dengan membawa kertas yang kau lipat dua, “Ini jawabanku. Jangan kau buka disini! Terserah dimana kamu akan membacanya, tapi jangan disini!” Wajahmu yang senantiasa ceria, kini muram dengan ucapan “sekarang, pulanglah! Giliran aku menanti jawabmu”.

Widya, sesungguhnya aku tidak langsung pulang seperti pintamu. Aku tinggalkan rumahmu, tapi aku berhenti tak jauh darinya. Kubaca surat itu dengan keberanian yang kupaksakan. Dan akupun hilang.

Kini, jauh dari kotamu telah kudapatkan hidup yang lebih baik, dan kunafikkan dirimu. Kubuang jauh tentangmu. Bahkan kupindahkan orangtuaku dari kotamu ke kotaku, agar tak perlu lagi kukunjungi kota yang melukai hatiku. Kamu telah kulupakan.

“Ayah! Ayah kok melamun?” Tanya istriku membuyarkan permainan ingatanku.

“Eh.. Ibu” agak gugup kupandang wanita yang lima belas tahun sudah menemani hidupku.

“Kenapa Yah?” istriku mendekat, kulihat matanya melirik pada kertas yang masih kupegang.

“Ini, Ayah lagi baca ‘surat cinta’ pertama yang Ayah terima, lebih tepatnya surat penolakan” ucapku terdengar pahit, tak bisa lagi kusembunyikan rahasia tentang surat ini.

“Boleh Ibu baca?” tanpa menunggu jawaban, istriku menggamit kertas yang kupegang, akupun tak berusaha mencegahnya.

Kulihat istriku membaca. Awalnya tenang, kemudian tersenyum. Seperti senyum kemenangan, karena dengan penolakan itu, maka kini aku menjadi suaminya. Huh! Mengapa kali ini aku tak senang melihat senyum istriku.

“Ayah, mau tidak Ayah cerita tentang perempuan ini? Perempuan yang nama belakangnya sama dengan nama belakang anak kita.” Pinta istriku yang sekaligus membuatku kaget dan tersadar. Memang, nama belakang Widya, kupakai sebagai nama belakang anak pertamaku yang kini sudah gadis. Lantas, kuceritakan semua tentang Widya. Penuh khidmat istriku mendengarnya.

Setelah semua kuceritakan, istriku kembali tersenyum, namun berbeda. Senyum ini mencibir seperti hendak mengatakan kalau aku bodoh, dan ternyata benar dari ucapan istriku “Ayah..Ayah!” ucapnya sambil menggelengkan kepala. “Dasar pemuja ilmu pasti! Yang seperti ini saja bingung” ucap istriku yang justru membuatku tambah bingung. Kemudian istriku menyerahkan kembali kertas itu, masih tersenyum manis sekali. Sambil mencium pipiku, ia bangkit meninggalkanku dan berkata “Itu kan ‘Akrostik’ Yah!”

Akrostik? Apa pula itu Akrostik? Tak berani kutanyakan hal itu pada istriku yang juga sudah turun ke lantai dasar, takut nampak terlihat bodoh. Lalu kudekati kumpulan buku-buku yang terpajang di rak buku, kucari di kamus, dan pada lembar sastra kudapati arti itu.

Akrostik : Puisi yang huruf-huruf awal pada setiap lariknya menciptakan suatu kata atau kata-kata jika dibaca dari atas kebawah.

Tergesa-gesa kubaca kembali puisi yang membuatku bingung dan nelangsa selama dua puluh tahun, dengan mengikuti terjemahan dari Akrostik. Aku ternganga karena terkejut. Rupanya ini isi puisi dari orang yang sangat kucintai, isi yang tersirat, sungguh berbeda dengan yang tersurat.

Surat itu hanya berbunyi “AKU MENCINTAIMU”.

Tulang-tulang di tubuhku terasa lepas, aku lemas, aku si “bodoh” yang sangat tolol. Tak bisa kubaca pesan yang sangat sederhana itu selama dua puluh tahun, tanpa bantuan istriku, orang yang justru merampasku darimu Widya. Pantas saja temanku berkata tentangmu saat aku menghadiri resepsi pernikahannya tiga tahun lalu. “Widya menunggumu, dia bilang pintu hatinya selalu terbuka untukmu, dan kalaupun tertutup, dia berharap kamu sudah ada di dalamnya”.

“Akh.. yang benar kamu? Memangnya dia tidak tahu kalau aku sudah menikah, bahkan sudah punya dua anak?” pancingku

“Dia tahu! Aku sudah memberitahukannya, tapi dia bilang hatinya sudah dibawa olehmu, sehingga tak ada lagi hati yang bisa dia berikan ke pria lain” ucap temanku yang justru kutertawakan.

Kini, rasa bersalah mengurungku. Bimbang dengan segala yang ada, segala yang kumiliki serasa tiada guna. Cinta kurasakan sebagai kepedihan yang tersembunyi, kepiluan yang menyayat hati. Perih! Sungguh sakit.

“Ayah! Aku sudah selesai belesin mainanku. Sekalang Aku boleh main ke lual ya Yah?” Anakku yang kedua: laki-laki, masuk sambil bertanya dengan ucapannya yang masih cadel, belum bisa mengucapkan huruf “R”. Wajahnya polos, lugu, lucu, menyiram bara api yang menggelora dalam sekam. Kupeluk dia, kuciumi. Tangisku menjadi. Anakku heran.

Sebelum anakku itu menanyakan sebabnya kumenangis, kuajak dia ke teras depan sambil memintanya melakukan sesuatu untukku. “Kamu boleh main, tapi bantu ayah dahulu!” kataku dengan kupaksakan keteguhan hati. Kuberikan korek api gas, kuminta ia nyalakan di atas kertas puisi yang kupegang. Wajahnya berbinar, karena jarang-jarang ia boleh bermain api, diapun tahu alasannya, mengingat tangannya pernah terbakar.

Widya…
Kini puisimu menyala…
Penuh api!


Jakarta, 24 Juni 2007
Mugi Subagyo

0 Comments:

Post a Comment

<< Home


Islamic Calendar Widgets by Alhabib
Free Hijri Date

Kecantikan seseorang harus dilihat dari matanya, karena itulah pintu hatinya - tempat dimana cinta itu ada.