HILANG
“Kak, Saya mau pamit pulang ke kampung besok pagi” pinta Mbak Asih pada istriku.
“Lho! Bukannya kamu sedang sakit? Tanya istriku mencemaskan keadaan wanita muda berusia 24 tahun, yang sudah bekerja di rumah kami selama lima tahun.
“Sebaiknya besok kamu pergi berobat ke rumah sakit. Nanti kalau sudah sembuh, Saya tidak akan melarangmu” bujuk istriku seraya memberikan sejumlah uang untuk biaya berobat. “Kalau kamu masih seperti ini, Saya takut ada apa-apa nanti di jalan”. Istriku coba menjelaskan.
“Lho! Bukannya kamu sedang sakit? Tanya istriku mencemaskan keadaan wanita muda berusia 24 tahun, yang sudah bekerja di rumah kami selama lima tahun.
“Sebaiknya besok kamu pergi berobat ke rumah sakit. Nanti kalau sudah sembuh, Saya tidak akan melarangmu” bujuk istriku seraya memberikan sejumlah uang untuk biaya berobat. “Kalau kamu masih seperti ini, Saya takut ada apa-apa nanti di jalan”. Istriku coba menjelaskan.
“Tidak Kak! Saya berobat di kampung saja. Lagipula suami saya sudah mengabari siang tadi, kalau dia akan menjemput saya.” Ucap Mbak Asih bertahan; entah apa alasannya yang membuat dia ngotot untuk pulang esok hari juga.
Wajahnya seputih kafan. Saat berdiri berhadapan dengan istriku di tepi meja makan, jelas nampak badannya limbung. Aku sendiri diam saja, memperhatikan percakapan keduanya. Sesekali kulihat tubuh pembantuku ini gemetar, segemetar suara yang dikeluarkan dari bibirnya yang juga pucat, kering.
Tak tahan melihat kondisinya, Akupun menceburkan diri dalam percakapan, sekaligus memintanya untuk duduk dekat kami. “Memangnya ada apa Mbak Asih? Kenapa ingin cepat-cepat pulang? Ada berita apa di kampung, yang memaksamu untuk segera pulang?” Tanyaku.
“Tidak ada apa-apa kok Ayah!” jawabnya. Dia memang terbiasa memanggilku ayah, untuk membahasakan kepada anak-anakku. Lima tahun bersama, membuat ia jadi bahagian dari keluarga kami. Sedang terhadap istriku, Asih memanggilnya dengan sebutan “Ibu”, kecuali bila tidak di dekat anak-anakku yang saat ini sedang tidur siang; Asih ucapkan “Kakak” sebagai pengganti panggilan “Ibu”.
“Tapi Asih tidak mau merepotkan Ayah sama Kakak.” Matanya tak berani menatap kami, bahkan kepalanyapun ditundukkan dalam-dalam. “Soalnya penyakit Asih sepertinya berat. Jadi biar Asih pulang saja dan tinggal sama Simbok di kampung.”
Meski kami sudah coba menahannya, namun sepertinya pembantuku ini tidak akan merubah niatnya. Terpaksa kami mengijinkan dengan syarat-syarat yang harus dipenuhi. Salah satu syarat mutlak adalah: Dia tidak boleh pergi dari rumah, kalau suaminya tidak menjemput. Kedua, Kalau suaminya besok datang, Asih harus sudah berobat pagi atau siang hari sebelum kedatangan suami. Syarat ketiga, Suaminya harus istirahat satu malam sebelum pergi keesokan hari.
Diapun mengangguk tanda setuju. Kemudian kembali pergi ke belakang, nampak hendak mengerjakan sesuatu. Langsung saja istriku meneriakinya “Asih! Sudah kamu gak usah cuci piring dulu! Istirahat saja, nanti biar Saya yang mengerjakannya!” tapi perkataan istriku tak diindahkannya. Langsung istriku bangun dari kursi menghampiri dan menggandeng tangannya.
“Ya ampun! Badan kamu panas seperti ini” Istriku tidak jadi menggandeng Asih, tapi langsung menuju kotak obat, kemudian meminumkannya. Asih manut saja. Tidak lama kemudian iapun pergi ke lantai atas menuju kamarnya.
Keesokan paginya kami disibukkan kegiatan rutin sehari-hari untuk bekerja. Saya pergi ke lantai dua untuk mandi, karena dari kamar mandi lantai dasar terdengar suara istriku yang sedang mandi. Sekilas kulewati kamar Asih. Dia tidak sedang tidur, tapi duduk bersandar sambil membaca majalah atau tabloid langganan istriku. Tidak ada pikiran buruk di kepalaku.
Selama bekerja, tidak pernah satupun kesalahan dibuatnya. Kalaupun ada, hanya soal selera masakan, yang akhirnya ia ikuti selera kami. Dia juga yang rajin menunggui istriku ketika melahirkan anak kami yang kedua. Dia yang rajin membersihkan kotoran sisa persalinan, tanpa ada rasa jijik. Dia pula yang dengan sabar, tidak pernah menjatuhkan tangan kepada anak kami yang mulai tumbuh besar dengan segala keingintahuannya. Dia benar-benar mempermudah urusan kami di rumah. Kecuali dua minggu belakangan ini, dua minggu sejak ia jatuh sakit, praktis pekerjaan yang biasa ia tangani menjadi pekerjaanku juga istriku.
Esoknya Asih pulang, karena semua syarat yang kami ajukan telah dipatuhinya. Kami memberikannya bekal berupa pakaian layak pakai, dari tumpukan baju istriku yang jarang dipergunakan, Aku memberinya ongkos untuk transportasi mereka berdua, juga biaya pengobatan Asih selama di kampung. Aku menduga, seperti juga harapan Asih, bahwa ia akan kembali paling lama dua minggu dari kepulangannya.
Dua hari saja tanpa Asih, Aku sudah tersiksa dengan badan letih, karena harus mencuci pakaian, mencuci piring dan pekerjaan rumah tangga lainnya. Istriku juga tidak kurang letihnya menyetrika pakaian, merapihkan kamar dan banyak lagi. Jadi kami sepakat untuk mencari pembantu harian yang dapat menggantikan Asih untuk sementara.
Kebetulan, kami dapat Atin, dari penyalur pembantu rumah tangga yang ada di dekat rumah. Atin rupanya tetangga kampung Asih di Pacitan, sebuah tempat di ujung timur pulau Jawa. Dia tahu banyak tentang Asih dan keluarganya. Dari dia-lah kami tahu perkembangan Asih.
Dari Atin kami tahu tentang suami Asih yang sudah tidak bekerja sebagai nelayan lagi, karena majikannya bangkrut, hingga terpaksa menjual perahu motor yang salah satunya digunakan Suami Asih untuk mencari ikan. Atin juga cerita tentang Suami Asih yang pemalas, bisanya hanya minta uang dari istrinya.
Seminggu kemudian datang surat dari Asih, isinya mohon bantuan kami untuk pengobatan Asih di kampung. Kami kirimkan sejumlah uang cukup besar, mengingat biaya pengobatan di kampung relatif lebih murah dibandingkan dengan Jakarta, tempat kami tinggal. Atin mengetahui hal tersebut, lalu mengatakan sesuatu yang mengurangi keikhlasan kami.
“Yah..Pak, kenapa dikasih? Paling-paling uang itu dipakai suaminya” ucap Atin meragukan Asih.
“Tidak apa-apa! Kami ikhlas kok memberinya.” Usahaku meyakinkan diri.
Tapi istriku menanyakan lebih jauh “Memangnya sampai seperti itu? Asih tega membohongi kami dengan beralasan sakit, untuk meminta sejumlah uang?”
“Iya Bu! Lihat saja! Tidak lama lagi pasti suaminya datang kesini buat minta uang lagi” ucapan Atin penuh keyakinan.
Ternyata benar! Belum seminggu dari kami kirimkan uang, suami Asih datang ke rumah. Menunggu di halaman depan, dan langsung menyampaikan maksudnya untuk meminta uang kembali. “Buat berobat Asih” katanya. Tapi kami ragu, jadi kami putuskan tidak bisa membantu dan hanya membantu ongkos pulang suami Asih. Saya katakan, kalau Asih seharusnya sudah kembali bekerja satu dua hari ini.
Atin tidak kelihatan seharian ini. Minggu pagi biasanya dia sudah kembali ke rumah kami, karena dia tidak menginap. Atin selalu pulang sore hari dan kembali keesokan pagi. Tapi sampai siang tidak kelihatan batang hidungnya. Kami tidak mencurigainya, sampai istriku menanyakan beberapa perhiasan yang ia taruh di lemari, kini tidak ada lagi. Aku membantu mencari di beberapa tempat, dimana istriku biasa meletakkan barang-barang berharga. Barang- barang itu lenyap. Begitu pula Atin, dia tidak ada di tempat kakaknya mengontrak rumah. Dari tetangganya kami ketahui bahwa Sabtu malam, mereka sudah pindah kontrakan, namun tidak ada yang mengetahui kemana mereka pindah.
Tidak terbayang kecewanya istriku, “Bukan soal cincin atau kalung Ibu yang hilang, Ayah! Tapi Ibu sudah memberikan kepercayaan kepadanya.” Sambil menahan sakit hati. “Dan diantara benda-benda yang hilang, juga ada cincin kawin kita, Tega sekali dia!” kulihat rahang istriku menggelembung menahan amarah. Aku juga tidak dapat menahan kecewa.
Tiga hari setelah kehilangan, masih ada rasa getir di hati kami, hingga kami putuskan untuk tidak mudah menerima pembantu di rumah, bahkan bila Asih kembali. Kami akan terapkan segala sesuatunya seperti kami baru mengenal Asih; tidak percaya 100%! Cukup percaya sedikit saja.
Sepulang dari kantor, saya lebih lambat dari istriku, karena jam pulang kantor kami berbeda. Kudapati suasana di rumah sepi, bahkan suara anak-anak yang biasa bercanda di ruang keluarga, juga tidak ada. Kucari ke atas, kulihat kedua anakku sedang memeluk ibunya yang sedang menangis sesenggukan.
“Ibu, kenapa Bu?” tanyaku cemas
“Kita berdosa Ayah! Kita berdosa! Dosa kita besar Ayah!” jerit istriku memilukan, dan belum sempat kutanyakan perihal dosa yang telah kita perbuat, anakku memberikan jawabnya.
“Mbak Asih meninggal Yah! Kena Tipes (Thypus), itu suratnya!” tangan anak pertamaku menunjuk surat yang tergeletak di lantai, rupanya istriku tadi menjatuhkannya.
“Iya Ayah, Mbak Asih mati!” kata anakku yang paling kecil, Aku melotot padanya, tidak setuju dengan penggunaan kalimat yang diucapkan.
Kubaca surat itu. Isinya permohonan maaf dari Suami Asih, karena Asih sudah tidak lagi bisa bekerja, Ia sudah dipanggil Yang Maha Kuasa. Juga permintaan maafnya, karena merasa telah menyusahkan kami sekeluarga.
Kulipat kembali surat itu dan kumasukkan ke dalam amplopnya yang berprangko senilai Rp. 1500,-, kemudian kulihat stempel pos tertanggal 22 Juni 2007, tiga hari dari hari ini. Hari dimana kami merasa kehilangan.
Jakarta, 25 Juni 2007
Wajahnya seputih kafan. Saat berdiri berhadapan dengan istriku di tepi meja makan, jelas nampak badannya limbung. Aku sendiri diam saja, memperhatikan percakapan keduanya. Sesekali kulihat tubuh pembantuku ini gemetar, segemetar suara yang dikeluarkan dari bibirnya yang juga pucat, kering.
Tak tahan melihat kondisinya, Akupun menceburkan diri dalam percakapan, sekaligus memintanya untuk duduk dekat kami. “Memangnya ada apa Mbak Asih? Kenapa ingin cepat-cepat pulang? Ada berita apa di kampung, yang memaksamu untuk segera pulang?” Tanyaku.
“Tidak ada apa-apa kok Ayah!” jawabnya. Dia memang terbiasa memanggilku ayah, untuk membahasakan kepada anak-anakku. Lima tahun bersama, membuat ia jadi bahagian dari keluarga kami. Sedang terhadap istriku, Asih memanggilnya dengan sebutan “Ibu”, kecuali bila tidak di dekat anak-anakku yang saat ini sedang tidur siang; Asih ucapkan “Kakak” sebagai pengganti panggilan “Ibu”.
“Tapi Asih tidak mau merepotkan Ayah sama Kakak.” Matanya tak berani menatap kami, bahkan kepalanyapun ditundukkan dalam-dalam. “Soalnya penyakit Asih sepertinya berat. Jadi biar Asih pulang saja dan tinggal sama Simbok di kampung.”
Meski kami sudah coba menahannya, namun sepertinya pembantuku ini tidak akan merubah niatnya. Terpaksa kami mengijinkan dengan syarat-syarat yang harus dipenuhi. Salah satu syarat mutlak adalah: Dia tidak boleh pergi dari rumah, kalau suaminya tidak menjemput. Kedua, Kalau suaminya besok datang, Asih harus sudah berobat pagi atau siang hari sebelum kedatangan suami. Syarat ketiga, Suaminya harus istirahat satu malam sebelum pergi keesokan hari.
Diapun mengangguk tanda setuju. Kemudian kembali pergi ke belakang, nampak hendak mengerjakan sesuatu. Langsung saja istriku meneriakinya “Asih! Sudah kamu gak usah cuci piring dulu! Istirahat saja, nanti biar Saya yang mengerjakannya!” tapi perkataan istriku tak diindahkannya. Langsung istriku bangun dari kursi menghampiri dan menggandeng tangannya.
“Ya ampun! Badan kamu panas seperti ini” Istriku tidak jadi menggandeng Asih, tapi langsung menuju kotak obat, kemudian meminumkannya. Asih manut saja. Tidak lama kemudian iapun pergi ke lantai atas menuju kamarnya.
Keesokan paginya kami disibukkan kegiatan rutin sehari-hari untuk bekerja. Saya pergi ke lantai dua untuk mandi, karena dari kamar mandi lantai dasar terdengar suara istriku yang sedang mandi. Sekilas kulewati kamar Asih. Dia tidak sedang tidur, tapi duduk bersandar sambil membaca majalah atau tabloid langganan istriku. Tidak ada pikiran buruk di kepalaku.
Selama bekerja, tidak pernah satupun kesalahan dibuatnya. Kalaupun ada, hanya soal selera masakan, yang akhirnya ia ikuti selera kami. Dia juga yang rajin menunggui istriku ketika melahirkan anak kami yang kedua. Dia yang rajin membersihkan kotoran sisa persalinan, tanpa ada rasa jijik. Dia pula yang dengan sabar, tidak pernah menjatuhkan tangan kepada anak kami yang mulai tumbuh besar dengan segala keingintahuannya. Dia benar-benar mempermudah urusan kami di rumah. Kecuali dua minggu belakangan ini, dua minggu sejak ia jatuh sakit, praktis pekerjaan yang biasa ia tangani menjadi pekerjaanku juga istriku.
Esoknya Asih pulang, karena semua syarat yang kami ajukan telah dipatuhinya. Kami memberikannya bekal berupa pakaian layak pakai, dari tumpukan baju istriku yang jarang dipergunakan, Aku memberinya ongkos untuk transportasi mereka berdua, juga biaya pengobatan Asih selama di kampung. Aku menduga, seperti juga harapan Asih, bahwa ia akan kembali paling lama dua minggu dari kepulangannya.
Dua hari saja tanpa Asih, Aku sudah tersiksa dengan badan letih, karena harus mencuci pakaian, mencuci piring dan pekerjaan rumah tangga lainnya. Istriku juga tidak kurang letihnya menyetrika pakaian, merapihkan kamar dan banyak lagi. Jadi kami sepakat untuk mencari pembantu harian yang dapat menggantikan Asih untuk sementara.
Kebetulan, kami dapat Atin, dari penyalur pembantu rumah tangga yang ada di dekat rumah. Atin rupanya tetangga kampung Asih di Pacitan, sebuah tempat di ujung timur pulau Jawa. Dia tahu banyak tentang Asih dan keluarganya. Dari dia-lah kami tahu perkembangan Asih.
Dari Atin kami tahu tentang suami Asih yang sudah tidak bekerja sebagai nelayan lagi, karena majikannya bangkrut, hingga terpaksa menjual perahu motor yang salah satunya digunakan Suami Asih untuk mencari ikan. Atin juga cerita tentang Suami Asih yang pemalas, bisanya hanya minta uang dari istrinya.
Seminggu kemudian datang surat dari Asih, isinya mohon bantuan kami untuk pengobatan Asih di kampung. Kami kirimkan sejumlah uang cukup besar, mengingat biaya pengobatan di kampung relatif lebih murah dibandingkan dengan Jakarta, tempat kami tinggal. Atin mengetahui hal tersebut, lalu mengatakan sesuatu yang mengurangi keikhlasan kami.
“Yah..Pak, kenapa dikasih? Paling-paling uang itu dipakai suaminya” ucap Atin meragukan Asih.
“Tidak apa-apa! Kami ikhlas kok memberinya.” Usahaku meyakinkan diri.
Tapi istriku menanyakan lebih jauh “Memangnya sampai seperti itu? Asih tega membohongi kami dengan beralasan sakit, untuk meminta sejumlah uang?”
“Iya Bu! Lihat saja! Tidak lama lagi pasti suaminya datang kesini buat minta uang lagi” ucapan Atin penuh keyakinan.
Ternyata benar! Belum seminggu dari kami kirimkan uang, suami Asih datang ke rumah. Menunggu di halaman depan, dan langsung menyampaikan maksudnya untuk meminta uang kembali. “Buat berobat Asih” katanya. Tapi kami ragu, jadi kami putuskan tidak bisa membantu dan hanya membantu ongkos pulang suami Asih. Saya katakan, kalau Asih seharusnya sudah kembali bekerja satu dua hari ini.
Atin tidak kelihatan seharian ini. Minggu pagi biasanya dia sudah kembali ke rumah kami, karena dia tidak menginap. Atin selalu pulang sore hari dan kembali keesokan pagi. Tapi sampai siang tidak kelihatan batang hidungnya. Kami tidak mencurigainya, sampai istriku menanyakan beberapa perhiasan yang ia taruh di lemari, kini tidak ada lagi. Aku membantu mencari di beberapa tempat, dimana istriku biasa meletakkan barang-barang berharga. Barang- barang itu lenyap. Begitu pula Atin, dia tidak ada di tempat kakaknya mengontrak rumah. Dari tetangganya kami ketahui bahwa Sabtu malam, mereka sudah pindah kontrakan, namun tidak ada yang mengetahui kemana mereka pindah.
Tidak terbayang kecewanya istriku, “Bukan soal cincin atau kalung Ibu yang hilang, Ayah! Tapi Ibu sudah memberikan kepercayaan kepadanya.” Sambil menahan sakit hati. “Dan diantara benda-benda yang hilang, juga ada cincin kawin kita, Tega sekali dia!” kulihat rahang istriku menggelembung menahan amarah. Aku juga tidak dapat menahan kecewa.
Tiga hari setelah kehilangan, masih ada rasa getir di hati kami, hingga kami putuskan untuk tidak mudah menerima pembantu di rumah, bahkan bila Asih kembali. Kami akan terapkan segala sesuatunya seperti kami baru mengenal Asih; tidak percaya 100%! Cukup percaya sedikit saja.
Sepulang dari kantor, saya lebih lambat dari istriku, karena jam pulang kantor kami berbeda. Kudapati suasana di rumah sepi, bahkan suara anak-anak yang biasa bercanda di ruang keluarga, juga tidak ada. Kucari ke atas, kulihat kedua anakku sedang memeluk ibunya yang sedang menangis sesenggukan.
“Ibu, kenapa Bu?” tanyaku cemas
“Kita berdosa Ayah! Kita berdosa! Dosa kita besar Ayah!” jerit istriku memilukan, dan belum sempat kutanyakan perihal dosa yang telah kita perbuat, anakku memberikan jawabnya.
“Mbak Asih meninggal Yah! Kena Tipes (Thypus), itu suratnya!” tangan anak pertamaku menunjuk surat yang tergeletak di lantai, rupanya istriku tadi menjatuhkannya.
“Iya Ayah, Mbak Asih mati!” kata anakku yang paling kecil, Aku melotot padanya, tidak setuju dengan penggunaan kalimat yang diucapkan.
Kubaca surat itu. Isinya permohonan maaf dari Suami Asih, karena Asih sudah tidak lagi bisa bekerja, Ia sudah dipanggil Yang Maha Kuasa. Juga permintaan maafnya, karena merasa telah menyusahkan kami sekeluarga.
Kulipat kembali surat itu dan kumasukkan ke dalam amplopnya yang berprangko senilai Rp. 1500,-, kemudian kulihat stempel pos tertanggal 22 Juni 2007, tiga hari dari hari ini. Hari dimana kami merasa kehilangan.
Jakarta, 25 Juni 2007
0 Comments:
Post a Comment
<< Home