PEDESTRIAN
Jalan khusus yang memang dibuat untuknya, tidak lagi dapat dilalui tanpa bersinggungan dengan kendaraan bermotor roda dua. Para pengendara itu saling bersaing untuk posisi di muka, meski mereka tahu apa yang menanti di depan; nyala merah dari lampu lalu lintas, atau jalan yang penuh sesak oleh kendaraan lain. Lumrah buat kondisi waktu, saat jam kerja usai, di kota yang telah berumur banyak; Jakarta. Meski sayang, umur yang disandang kota ini, nyaris tidak ada kebijakan menyertai. Sulit buat “Pedestrian”, tapi ia harus tetap meniti langkah.
Di luar sangat gelap. Tidak tersisa kemilau cahaya dari matahari yang siang tadi membuat tanah di jalan jadi debu, panas yang memompa keluar cairan dalam tubuh. Hari belum lagi malam, atau mungkin malam dirangkul awan hitam hingga bergabung menjadi kegelapan merata yang demikian pekat.
“Mendung tak berarti hujan” gumamnya nyinyir, mengingat bait syair sebuah lagu pop.
Tapi alam tidak bertindak atas keinginan manusia, meski diucap berulang. Alam punya “hukum”nya sendiri. Dan, sore itu pun hujan tumpah. Dimana saja, tak ada yang luput dari curah airnya. Sang Pedestrian tetap berjalan, tanpa perubahan gerak langkah yang dipercepat. Ia hanya berjalan lunglai menerima pasrah atas miliknya yang dirampas; miliknya berupa “hak” untuk berjalan nyaman, melangkah aman. Sesekali ia harus berhenti untuk sekedar memiringkan tubuh guna dapat melewati kendaraan yang mengambil haknya, hak pejalan kaki.
Pria ini belum cukup dikatakan tua, tapi garis-garis di pipi menampakkan jelas gambaran perjuangan yang sering dialami. Rambutnya belum lagi memutih, hanya saja terlihat lugas benturan atau hempasan terpahat di kening. Tubuhnya tegak, dengan bahu kekar dan legam oleh sengatan matahari; sayang, kurus tubuhnya menghalau keperkasaan yang dimiliki. Kini ia seperti abu di atas tunggul.
Jarak menuju ke rumahnya masih berbilang tombak, kendati ia paksakan kaki untuk melangkah. Tak dapat ia temukan sisa tenaga, dan ia pun berhenti. Di depan pagar sebuah bangunan besar, ia bersandar pada dinding, merosot duduk dengan kedua lututnya menopang di jalan bergenang air. Untung angin berpihak padanya, mengalihkan lari air ke samping dan ia terbebas dari guyuran hujan.
Wajahnya menengadah, lalu berucap:
“Tuhan, Aku telah berjuang mengalahkan penderitaanku, tapi Kau tiada mau menyingkirkannya”
“Berkah darimu kujadikan kebahagiaan, tapi Kau hapuskan dengan kesengsaraan” nada suaranya mulai bergetar. Kemudian bibirnya bergerak seperti berdoa, namun tidak ada suara yang keluar, hanya dari matanya, doa tersebut dipanjatkan “Tuhan, Aku telah bertobat kepada-Mu dan memohon ampunan-Mu, jika Engkau mengasihiku, berilah Aku kesempatan!” lalu matanya menutup; ia tertidur.
Tengah malam ia terbangun oleh suara pagar besi besar yang digeser sesorang, kemudian meluncur sebuah mobil besar nan panjang. Rupanya pemilik rumah mewah itu hendak menikmati malam dengan kepunyaannya yang berlebih. Sang Pedestrian bangun, tenaganya telah pulih. Di kepalanya kini tidak ada lagi pikiran-pikiran tentang hal lain, hanya pulang; berjalan kaki.
Siang itu ia bangun, kepalanya seberat batu. Ia raba tubuhnya yang panas, tapi rasa dingin luar biasa yang merajainya. Susah payah ia berdiri, menuju pintu yang hanya dua langkah dari ranjang triplek beralas tikar sebagai tempat tidurnya. Rupanya ia hidup sendiri di kamar kontrakan berukuran mini, lebih kecil dari sebuah garasi dengan satu mobil. Pemukiman padat ini memudahkannya untuk dapat memperoleh makan siang dan obat pereda sakit; banyak warung-warung kecil, dan ia menuju ke salah satunya, warung terdekat yang biasa ia datangi.
“Siang pak Tejo! Kok tumben bangun siang? Tegur Mpok Eti, pemilik warung. “Bagaimana kemarin panggilan wawancaranya? Sukses tidak? Lanjut Mpok Eti menanyakan, namun dirasakan menusuk oleh Sang Pedestrian yang ternyata mempunyai panggilan dengan nama Tejo.
“Gagal Mpok Eti!” Jawabnya murung sambil meminta nasi dengan dua goreng tempe sebagai lauknya. “Saya ditolak! Katanya keahlian yang Saya miliki, sudah ketinggalan jaman; tidak sesuai dengan misi perusahaan tempat Saya melamar.” Jawab Pak Tejo sambil mengunyah makanan, sambil sesekali mengurut kening yang dirasakan menggumpal, dengan tangan kirinya.
“Ketinggalan jaman gimana Pak?” Mpok Eti terheran-heran. “Gambar tangan Pak Tejo bagus-bagus, lukisan Pak Tejo juga hebat, lalu kurang apa Pak? Cecar Mpok Eti cemas, mungkin khawatir jika Pak Tejo semakin mundur waktu membayar hutang di warungnya, karena belum juga mendapat pekerjaan.
“Memang Mpok! Kata mereka, sekarang ini jamannya komputer, yang bisa membuat pekerjaan jadi jauh lebih cepat.” Ia berhenti sejenak untuk menelan makanan dari rongga mulutnya, kemudian dilanjutkan percakapan tersebut. “Pekerjaan yang paling cepat, bisa saya selesaikan adalah satu minggu, tapi dengan komputer, hanya butuh setengah hari. Coba Mpok bayangkan!”
Mpok Eti terdiam, entah mampu atau tidak ia membayangkan melukis atau menggambar dengan komputer, bagaimana bisa? Berapa lama sekolahnya? Berapa besar biayanya? Akhirnya Mpok Eti hanya diam, sementara tangannya menuangkan air ke dalam gelas, untuk kemudian diserahkan ke Pak Tejo.
“Memang benar Pak! Sekarang itu, menggambar jadi sangat mudah, tinggal klik dan geser sana-sini, diolah sebentar, jadi deh gambar yang kita mau.” Sahut seorang anak muda berusia sekitar 18 tahun. “Jadi ibaratnya, sekarang ini kita harus bisa berlari, harus serba cepat! Kalau tidak, maka kita tidak kebagian rejeki.” Ucap anak muda itu terlihat berpengalaman.
“Memangnya kamu sudah bekerja?” Tanya Pak Tejo yang mencoba yakin dengan perkataan anak tadi.
“Saya sih masih sekolah Pak, tapi kakak pertama saya seorang desainer grafis di kantor tempatnya bekerja, jadi Saya sedikit banyak tahu soal komputer”, kemudian tambahnya “Maka itu, Saya selalu ikuti apa kata kakak Saya, karena dia bilang: ‘Ini jaman komputer, orang harus berlari untuk mendapatkan pekerjaan’, begitu kata kakak Saya, Pak” anak muda itu nampak belum mau berhenti bercerita, tapi Pak Tejo menyudahinya dengan meminta obat ke Mpok Eti, karena dirasa tubuhnya semakin menggigil, entah karena memang udara siang itu belum juga memancarkan panas yang cukup, atau memang dirinya yang sedang sakit, karena kehujanan semalam.
“Tolong dimasukkan ke rekening Saya, ya Mpok Eti!” Kelakar Pak Tejo, sebagai pengganti ucapan “berhutang” atas apa yang dibelinya. Kemudian Ia sentuh pundak anak muda tadi, sebagai tanda pamit. “Saya pulang dulu ya!” Lantas Ia pulang; berayun langkah.
“Hati-hati pak!” Pesan si anak muda.
Di rumah, Pak tejo, Sang Pedestrian memikirkan apa yang diucapkan anak muda tadi di warung Mpok Eti. “Kita harus berlari”. Bagaimana Saya harus berlari jika kondisi sudah tidak mendukung? Apakah Saya mampu untuk menyerap ilmu baru bernama komputer? Darimana saya memperoleh kesempatan untuk belajar itu? Siapa yang mebiayai Saya buat kursus? Sementara makan sehari-hari Saya sulit.
“Ah… Seandainya Aku dahulu mendengar apa kata istriku, agar mau meningkatkan keahlian, mengasah keterampilan, pasti tidak akan begini kejadiannya” pikirannya melayang ke beberapa tahun silam. Masa dimana istrinya setia menemani Sang Pedestrian dan juga menemani penderitaannya hingga masa-masa emas dilaluinya. Masa Dimana keahliannya dihargai mahal oleh orang-orang kebanyakan, hingga uang yang berlimpah, membuatnya takabur, sombong.
Masa Jaya, masa dimana manusia diuji atas keberhasilannya; sering berhasil menjerumuskan manusia. Uang, kekayaan, kemasyuran dan seks, sanggup membuat manusia berpikir dapat melakukan segalanya mengalahkan takdir. Takdir bahwa manusia harus senantiasa bersyukur, selalu belajar dan menghadapi hidup dengan bijaksana. Sampai akhirnya Sang Pedestrian menceraikan istrinya dengan alasan aneh dibuat-buat; tidak bisa punya keturunan. Padahal saat Ia menceraikan istrinya, usia pernikahan mereka baru berjalan mendekati tahun keempat. Dan selama empat tahun tersebut, Ia jarang sekali menghabiskan waktu bersama dengan istrinya di kamar, untuk saling bersatu rasa, bersatu raga.
Kini Ia tak dapat berlari, hanya berjalan dan terus berjalan.
Sang Pedestrian merebahkan kembali tubuhnya, Ia coba beristirahat guna kembali berjalan esok pagi, berjalan lagi dan lagi. Sementara kondisi tubuhnya semakin lemah, semakin payah.
Hari dan malam berikutnya berlalu, kelihatannya tak akan turun hujan malam ini. Langit cerah dengan bintang penuh berserakan. Malam ini Sang Pedestrian bermimpi. Dalam mimpinya berkali-kali tangan keabadian menyeruak masuk menyibak tabir surga yang lembayung. Tangan itu memberikan isyarat kepadanya. Sang Pedestrian yang tak mau lagi menderita itupun melepaskan diri dari rangkulan hidup, dan lenyaplah Ia untuk selama-lamanya di jalan yang tak kenal kembali.
Sang Pedestrian mengikuti panggilan itu dan setelah meninggalkan jalan-jalan yang sangat dikenalnya, Ia memulai perjalanan baru, menyusuri jalan besar yang belum pernah diinjaknya; berjalan kaki.
Jakarta 28 Juni 2007
Salam Bahagia
Mugi Subagyo
“Mendung tak berarti hujan” gumamnya nyinyir, mengingat bait syair sebuah lagu pop.
Tapi alam tidak bertindak atas keinginan manusia, meski diucap berulang. Alam punya “hukum”nya sendiri. Dan, sore itu pun hujan tumpah. Dimana saja, tak ada yang luput dari curah airnya. Sang Pedestrian tetap berjalan, tanpa perubahan gerak langkah yang dipercepat. Ia hanya berjalan lunglai menerima pasrah atas miliknya yang dirampas; miliknya berupa “hak” untuk berjalan nyaman, melangkah aman. Sesekali ia harus berhenti untuk sekedar memiringkan tubuh guna dapat melewati kendaraan yang mengambil haknya, hak pejalan kaki.
Pria ini belum cukup dikatakan tua, tapi garis-garis di pipi menampakkan jelas gambaran perjuangan yang sering dialami. Rambutnya belum lagi memutih, hanya saja terlihat lugas benturan atau hempasan terpahat di kening. Tubuhnya tegak, dengan bahu kekar dan legam oleh sengatan matahari; sayang, kurus tubuhnya menghalau keperkasaan yang dimiliki. Kini ia seperti abu di atas tunggul.
Jarak menuju ke rumahnya masih berbilang tombak, kendati ia paksakan kaki untuk melangkah. Tak dapat ia temukan sisa tenaga, dan ia pun berhenti. Di depan pagar sebuah bangunan besar, ia bersandar pada dinding, merosot duduk dengan kedua lututnya menopang di jalan bergenang air. Untung angin berpihak padanya, mengalihkan lari air ke samping dan ia terbebas dari guyuran hujan.
Wajahnya menengadah, lalu berucap:
“Tuhan, Aku telah berjuang mengalahkan penderitaanku, tapi Kau tiada mau menyingkirkannya”
“Berkah darimu kujadikan kebahagiaan, tapi Kau hapuskan dengan kesengsaraan” nada suaranya mulai bergetar. Kemudian bibirnya bergerak seperti berdoa, namun tidak ada suara yang keluar, hanya dari matanya, doa tersebut dipanjatkan “Tuhan, Aku telah bertobat kepada-Mu dan memohon ampunan-Mu, jika Engkau mengasihiku, berilah Aku kesempatan!” lalu matanya menutup; ia tertidur.
Tengah malam ia terbangun oleh suara pagar besi besar yang digeser sesorang, kemudian meluncur sebuah mobil besar nan panjang. Rupanya pemilik rumah mewah itu hendak menikmati malam dengan kepunyaannya yang berlebih. Sang Pedestrian bangun, tenaganya telah pulih. Di kepalanya kini tidak ada lagi pikiran-pikiran tentang hal lain, hanya pulang; berjalan kaki.
Siang itu ia bangun, kepalanya seberat batu. Ia raba tubuhnya yang panas, tapi rasa dingin luar biasa yang merajainya. Susah payah ia berdiri, menuju pintu yang hanya dua langkah dari ranjang triplek beralas tikar sebagai tempat tidurnya. Rupanya ia hidup sendiri di kamar kontrakan berukuran mini, lebih kecil dari sebuah garasi dengan satu mobil. Pemukiman padat ini memudahkannya untuk dapat memperoleh makan siang dan obat pereda sakit; banyak warung-warung kecil, dan ia menuju ke salah satunya, warung terdekat yang biasa ia datangi.
“Siang pak Tejo! Kok tumben bangun siang? Tegur Mpok Eti, pemilik warung. “Bagaimana kemarin panggilan wawancaranya? Sukses tidak? Lanjut Mpok Eti menanyakan, namun dirasakan menusuk oleh Sang Pedestrian yang ternyata mempunyai panggilan dengan nama Tejo.
“Gagal Mpok Eti!” Jawabnya murung sambil meminta nasi dengan dua goreng tempe sebagai lauknya. “Saya ditolak! Katanya keahlian yang Saya miliki, sudah ketinggalan jaman; tidak sesuai dengan misi perusahaan tempat Saya melamar.” Jawab Pak Tejo sambil mengunyah makanan, sambil sesekali mengurut kening yang dirasakan menggumpal, dengan tangan kirinya.
“Ketinggalan jaman gimana Pak?” Mpok Eti terheran-heran. “Gambar tangan Pak Tejo bagus-bagus, lukisan Pak Tejo juga hebat, lalu kurang apa Pak? Cecar Mpok Eti cemas, mungkin khawatir jika Pak Tejo semakin mundur waktu membayar hutang di warungnya, karena belum juga mendapat pekerjaan.
“Memang Mpok! Kata mereka, sekarang ini jamannya komputer, yang bisa membuat pekerjaan jadi jauh lebih cepat.” Ia berhenti sejenak untuk menelan makanan dari rongga mulutnya, kemudian dilanjutkan percakapan tersebut. “Pekerjaan yang paling cepat, bisa saya selesaikan adalah satu minggu, tapi dengan komputer, hanya butuh setengah hari. Coba Mpok bayangkan!”
Mpok Eti terdiam, entah mampu atau tidak ia membayangkan melukis atau menggambar dengan komputer, bagaimana bisa? Berapa lama sekolahnya? Berapa besar biayanya? Akhirnya Mpok Eti hanya diam, sementara tangannya menuangkan air ke dalam gelas, untuk kemudian diserahkan ke Pak Tejo.
“Memang benar Pak! Sekarang itu, menggambar jadi sangat mudah, tinggal klik dan geser sana-sini, diolah sebentar, jadi deh gambar yang kita mau.” Sahut seorang anak muda berusia sekitar 18 tahun. “Jadi ibaratnya, sekarang ini kita harus bisa berlari, harus serba cepat! Kalau tidak, maka kita tidak kebagian rejeki.” Ucap anak muda itu terlihat berpengalaman.
“Memangnya kamu sudah bekerja?” Tanya Pak Tejo yang mencoba yakin dengan perkataan anak tadi.
“Saya sih masih sekolah Pak, tapi kakak pertama saya seorang desainer grafis di kantor tempatnya bekerja, jadi Saya sedikit banyak tahu soal komputer”, kemudian tambahnya “Maka itu, Saya selalu ikuti apa kata kakak Saya, karena dia bilang: ‘Ini jaman komputer, orang harus berlari untuk mendapatkan pekerjaan’, begitu kata kakak Saya, Pak” anak muda itu nampak belum mau berhenti bercerita, tapi Pak Tejo menyudahinya dengan meminta obat ke Mpok Eti, karena dirasa tubuhnya semakin menggigil, entah karena memang udara siang itu belum juga memancarkan panas yang cukup, atau memang dirinya yang sedang sakit, karena kehujanan semalam.
“Tolong dimasukkan ke rekening Saya, ya Mpok Eti!” Kelakar Pak Tejo, sebagai pengganti ucapan “berhutang” atas apa yang dibelinya. Kemudian Ia sentuh pundak anak muda tadi, sebagai tanda pamit. “Saya pulang dulu ya!” Lantas Ia pulang; berayun langkah.
“Hati-hati pak!” Pesan si anak muda.
Di rumah, Pak tejo, Sang Pedestrian memikirkan apa yang diucapkan anak muda tadi di warung Mpok Eti. “Kita harus berlari”. Bagaimana Saya harus berlari jika kondisi sudah tidak mendukung? Apakah Saya mampu untuk menyerap ilmu baru bernama komputer? Darimana saya memperoleh kesempatan untuk belajar itu? Siapa yang mebiayai Saya buat kursus? Sementara makan sehari-hari Saya sulit.
“Ah… Seandainya Aku dahulu mendengar apa kata istriku, agar mau meningkatkan keahlian, mengasah keterampilan, pasti tidak akan begini kejadiannya” pikirannya melayang ke beberapa tahun silam. Masa dimana istrinya setia menemani Sang Pedestrian dan juga menemani penderitaannya hingga masa-masa emas dilaluinya. Masa Dimana keahliannya dihargai mahal oleh orang-orang kebanyakan, hingga uang yang berlimpah, membuatnya takabur, sombong.
Masa Jaya, masa dimana manusia diuji atas keberhasilannya; sering berhasil menjerumuskan manusia. Uang, kekayaan, kemasyuran dan seks, sanggup membuat manusia berpikir dapat melakukan segalanya mengalahkan takdir. Takdir bahwa manusia harus senantiasa bersyukur, selalu belajar dan menghadapi hidup dengan bijaksana. Sampai akhirnya Sang Pedestrian menceraikan istrinya dengan alasan aneh dibuat-buat; tidak bisa punya keturunan. Padahal saat Ia menceraikan istrinya, usia pernikahan mereka baru berjalan mendekati tahun keempat. Dan selama empat tahun tersebut, Ia jarang sekali menghabiskan waktu bersama dengan istrinya di kamar, untuk saling bersatu rasa, bersatu raga.
Kini Ia tak dapat berlari, hanya berjalan dan terus berjalan.
Sang Pedestrian merebahkan kembali tubuhnya, Ia coba beristirahat guna kembali berjalan esok pagi, berjalan lagi dan lagi. Sementara kondisi tubuhnya semakin lemah, semakin payah.
Hari dan malam berikutnya berlalu, kelihatannya tak akan turun hujan malam ini. Langit cerah dengan bintang penuh berserakan. Malam ini Sang Pedestrian bermimpi. Dalam mimpinya berkali-kali tangan keabadian menyeruak masuk menyibak tabir surga yang lembayung. Tangan itu memberikan isyarat kepadanya. Sang Pedestrian yang tak mau lagi menderita itupun melepaskan diri dari rangkulan hidup, dan lenyaplah Ia untuk selama-lamanya di jalan yang tak kenal kembali.
Sang Pedestrian mengikuti panggilan itu dan setelah meninggalkan jalan-jalan yang sangat dikenalnya, Ia memulai perjalanan baru, menyusuri jalan besar yang belum pernah diinjaknya; berjalan kaki.
Jakarta 28 Juni 2007
Salam Bahagia
Mugi Subagyo
0 Comments:
Post a Comment
<< Home