<body><script type="text/javascript"> function setAttributeOnload(object, attribute, val) { if(window.addEventListener) { window.addEventListener('load', function(){ object[attribute] = val; }, false); } else { window.attachEvent('onload', function(){ object[attribute] = val; }); } } </script> <div id="navbar-iframe-container"></div> <script type="text/javascript" src="https://apis.google.com/js/platform.js"></script> <script type="text/javascript"> gapi.load("gapi.iframes:gapi.iframes.style.bubble", function() { if (gapi.iframes && gapi.iframes.getContext) { gapi.iframes.getContext().openChild({ url: 'https://www.blogger.com/navbar.g?targetBlogID\x3d6581471201873128981\x26blogName\x3dCerpen+-+nya+Mugi\x26publishMode\x3dPUBLISH_MODE_BLOGSPOT\x26navbarType\x3dBLUE\x26layoutType\x3dCLASSIC\x26searchRoot\x3dhttps://mugi-cerpen.blogspot.com/search\x26blogLocale\x3den_US\x26v\x3d2\x26homepageUrl\x3dhttp://mugi-cerpen.blogspot.com/\x26vt\x3d-8510118826213891906', where: document.getElementById("navbar-iframe-container"), id: "navbar-iframe", messageHandlersFilter: gapi.iframes.CROSS_ORIGIN_IFRAMES_FILTER, messageHandlers: { 'blogger-ping': function() {} } }); } }); </script>

04 July 2007


SUNYI

Sore ini Kartika kembali marah-marah. Ibu muda itu sedang memunguti rempah-rempah sisa makanan anak lelakinya. Kartika memang tipe ibu rumah tangga yang pembersih. Dia pandai mengatur penempatan benda atau perabotan rumah, sehingga rumahnya selalu tampak rapi, bersih dan teratur. Kini setelah seharian sibuk dengan belanja, cucian dan makan untuk keluarga, dia mendapati ruang tengah, ruang tamu hingga teras depan banyak mainan anak tercecer, belum lagi jejak kaki yang masih basah. Dari luar terdengar suara suaminya yang sedang asik bermain pistol air melawan putranya.

“Hai kamu penjahat! Ayo menyelah! Atau Aku tembak kamu” Teriak anak lelaki berusia 3 tahun menodongkan senjata ke arah bapaknya yang sedang mengisi ulang pistol air dari keran di depan rumah.

“Tidak! Aku tidak mau! Harusnya kamu yang menyerah Ranger Merah! Tantang monster yang diperankan si bapak.

“Lasakan ini! Duell.. duell… duall..dolll!” peluru air membasahi kaos belakang bapaknya, sementara kaos di depannya sudah basah lebih dulu. Tanpa menunggu pistolnya terisi penuh oleh air, sang bapak balas menembak. Suara tertawa keduanya terdengar seru, namun tidak di telinga Kartika yang sudah letih.

Saat Ranger Merah berlari ke dalam, tubuhnya ditahan oleh Kartika, yang langsung diseretnya keluar.

“Papa! Papa ini bagaimana sih? Yang benar saja Pa! Main air kok di dalam rumah” bentak Kartika, masih dengan memegang tangan anaknya. Si anak tidak memperdulikan ibunya, dia malah sembunyi di belakang kaki si ibu, lebih terkesan takut kena tembak bapaknya.

“Coba lihat hasil kerja kalian ini! Mainan berantakan dimana-mana, lantai kotor dan basah! Papa malah terus main tembak-tembakan. Ingat Pa! Papa bukan anak kecil!” Teriakan ini tidak dihiraukan anaknya yang justru menembak bapaknya dari sela tangan ibunya. Tindakan ini memancing kemarahan Kartika, dan reflek memukul tangan anaknya.

“Ini lagi! Memangnya tidak ada yang bisa kalian lakukan selain mengacau? Tidak bisa kalian tenang? Kalau tidak bisa, sebaiknya kalian pergi saja sana! Main di luar, jangan di rumah!” Ada rasa sesal di hati Kartika saat melihat anaknya mengaduh sambil memegang tangannya yang kena pukul. Mungkin dia memukul terlalu keras.

“Yah Mama, kita kan lagi asik main. Nanti setelah selesai juga kita bereskan semua. Iya kan Fahri?” bela sang bapak.

“Iya Ma!” ucap Fahri, anak lelaki itu.

“Tidak! Pokoknya tidak boleh!” balas Kartika yang semakin naik pitam melihat kondisi di teras lebih berantakan. Dipandangnya sebuah pot bunga Sutra Bombay kesayangannya dalam kondisi tergeletak miring, hingga sebagian tanah di dalamnya tumpah keluar.

“Ampun! Tanaman Mama!” Kartika melepaskan genggaman tangan pada anaknya dan berlari menghampiri pojok teras tempat dia menaruh tanaman hias.

“Kalian keterlaluan!” Ucap Kartika meradang, namun tidak ada suara yang keluar, hanya tangisan.

Sebuah tangisan dari rasa sedih yang timbul karena letih, sedih dengan perasaan tidak dihargai dan Kartika menangis sambil mengusap tanaman juga pot-pot yang dia betulkan posisinya. Meski tiap hari Kartika selalu membersihkan dan merapikan rumah, tapi hari ini ia merasa semua sudah keterlaluan. Matanya merah menyalakan amarah.

“Kalian berdua pergi!” suaranya terdengar seperti harimau terluka.

“Pergi kemana Ma? Ini kan sudah sore, lagipula itu semua nanti Papa perbaiki dan Papa bereskan semuanya.” Rayu sang suami yang membuka tangan karena anaknya beringsut mendekati.

“Mama tidak peduli! Pokoknya kalian pergi! Rumah ini tidak akan beres selama kalian ada di rumah.”

“Kita minta maaf deh Ma, sini biar Papa bantu beresi!” Nada suara suaminya menyiratkan rasa salah dan penyesalan.

“Plak!” sebuah tepisan keras mengenai tangan suaminya. Sang suami merasa lebih terkejut daripada rasa sakit akibat pukulan dari sebuah garu kecil.

Sang suami menyadari kemarahan istrinya, dengan berharap akan segera reda bila mereka tinggalkan untuk sesaat, ia pun mengambil sepeda dengan sebuah bangku kecil sebagai boncengan untuk anaknya. Ia letakkan anaknya, kemudian mengayuh tanpa tujuan.

“Kita mau kemana Pa?” Tanya anaknya yang sejak tadi diam saja. “Mama kok jahat sih Pa?

“Mama gak jahat Fahri, Mama Cuma capek, jadinya Mama sedih. Kan tadi Fahri lihat sendiri Mama menangis.” Ucap si bapak sambil terus mengayuh sepedanya.

Sementara di luar, lampu penerang jalan sudah mulai menyala, tanda hari mulai gelap. Langit cerah menyombongkan kekayaannya dengan taburan bintang. Jalan yang mereka lalui hanya sebuah jalan lingkar yang akan membawa kembali ke rumah dalam 40 menit.

Kini Kartika sudah tenang, rumahnya kembali bersih dan rapi. Tanaman sudah diberi pupuk; mainan anaknya sudah ditaruh dalam kardus besar; makanan sudah siap di meja makan. Setelah membasuh tubuh di kamar mandi, kini ia duduk meluruskan kaki di sofa ruang tamu sambil membaca tabloid.

Kartika masih asik membaca tabloid, jika saja tidak terdengar bunyi keroncongan pada perutnya. Dia berjalan menuju meja makan dan mengambil nasi yang kemudian diletakan pada piring bersamaan dengan lauk-pauknya. Tanpa sengaja matanya tertumpu pada jam dinding tempat ia duduk menghadapi makanannya.

“Kemana mereka?” Batinnya menanyakan anak dan suaminya. “Kalau dihitung dari mereka pergi tadi hingga sekarang, sudah 3 jam lebih mereka pergi.”

“Ahh.. mungkin mereka keasikan bermain lagi!” Tapi hatinya membantah. Main apa mereka malam-malam begini? Bukankah mereka belum mandi? Bahkan mereka juga belum makan sejak siang tadi. Atau mereka kini marah karena diusir sore tadi. Jawaban atas pertanyaan ini datang setengah jam kemudian.

Sebuah pintu diketuk diikuti ucapan salam dengan nada suara yang berat.

Dok! Dok! Dok!

“Selamat malam!” Suara yang terdengar dari luar sepertinya lebih dari satu orang, dan jelas bukan suara suaminya.

Maka, dengan berjingkat hati-hati, Kartika mendekati pintu. Kemudian ia membuka sedikit tirai jendela untuk melihat siapa yang datang. Sikap ini sangat diperlukan, karena tempat tinggalnya termasuk daerah sepi yang rawan kejahatan. Kartika mengintip dan kaget melihat seorang berbadan tegap mengenakan jaket hitam, di belakangnya masih ada dua orang lagi mengenakan seragam lengkap kepolisian. Salah seorang pria berjaket tadi kembali mengucapkan salam.

“Selamat malam Bu! Benar disini rumah Bapak Joko Prasetyo? Tanya pria tersebut ramah, sepertinya mengerti akan kecemasan si tuan rumah yang tidak berani membuka pintu.

“Betul! Bapak-bapak ini siapa?” Giliran Kartika yang bertanya. Tubuhnya kini tidak menguasai lagi akan jalan pikirannya yang terus menduga gerangan apa yang terjadi.

“Kami dari Polres Jagakarsa Bu! Kami ingin bertemu dengan istrinya Pak Joko!” Pria ini menjelaskan sambil meminta temannya yang berseragam lengkap untuk maju ke depan.

Masih dengan gugup, Kartika membuka pintu rumah perlahan dengan wajah bingung dan mata bergelayut kecemasan.

“Ibu istrinya pak Joko?

“Iya Pak! Ada apa ya Pak?”

“Sebaiknya Ibu sekarang ikut kami ke rumah sakit!”

“Memangnya ada apa Pak? Lalu mana suami dan anak Saya, Pak? Tanya Kartika tegas, namun dengan badan yang tiba-tiba lemas.

“Suami dan anak Ibu di rumah sakit, mereka kecelakaan!”

“Kecelakaan? Kecelakaan dimana, Pak? Bagaimana terjadinya, Pak? Kondisi suami dan anak Saya bagaimana, Pak? Apa mereka baik-baik saja, Pak? Kini Kartika tidak mampu lagi bergerak, bahkan tak sanggup untuk menanyakan lebih jauh, suaranya tertahan di tenggorokan.

Saat itu Pak RT datang ditemani seorang polisi. Rupanya salah satu dari mereka melaporkan kejadian yang menimpa warganya dan meminta ijin akan membawa Kartika ke rumah sakit.

“Mari Bu!” Kartika dituntun dua orang petugas mendekati mobil dinas untuk segera menuju ke rumah sakit. Pak RT mengunci rumah Kartika, kemudian ia menyalakan HTnya menghubungi warga lainnya.

Setelah penuh Tanya dan kecemasan yang berlimpah di sepanjang perjalanan, kini Kartika menggerung, menangis sejadinya. Suaminya yang penyabar, penuh cinta kasih kepada anak dan istrinya telah pergi selamanya, tanpa ucapan perpisahan. Segalanya serba tiba-tiba.

Di sebuah kamar, tempat ia harus mengidentifikasi korban kecelakaan, Kartika jatuh pingsan. Tak mampu ia melihat kondisi mayat suaminya yang meskipun telah dibersihkan, namun kondisinya sangat mengiris hati.

Saat sadar, Kartika tidak lagi menangis. Ia hanya duduk dengan tatapan kosong. Tidak lagi ada sesuatu di pikirannya, bahkan semua yang di depan matanya hanyalah ruang hampa, kosong, hanya ada kesunyian.

Tiba-tiba Ia bangkit berteriak: “Fahri! Fahri! Dimana kamu Nak?” Ia ingat anaknya. Ia tarik satu persatu selimut yang menutupi mayat, pada masing-masing ranjang beroda. Baru pada ranjang ke-enam, tangannya dipegang seorang petugas yang sejak tadi menungguinya.

“Anak Ibu tidak ada disini. Dia di ruang perawatan.” Ucapnya sedikit meneduhkan.

“Dirawat? Berarti anakku selamat? Anakku selamat!”

“Antar saya Pak! Tolong antar Saya sekarang Pak!” Pinta Kartika menggila.

“Saya akan antarkan Ibu kesana, tapi Saya mohon Ibu sedikit tenang.”

“Tenang? Bapak minta Saya tenang? Bagaimana Saya bisa tenang? Suami Saya mati, anak saya dirawat, Bapak minta Saya tenang? Bahkan siapa yang menabrak suami dan anak Saya saja, Bapak tidak tahu. Bapak malah minta Saya tenang! Apa Bapak bisa tenang, kalau kejadian ini menimpa Bapak?” Bentak Kartika.

“Saya mengerti keadaan Ibu, tapi kalau Ibu seperti ini, Ibu tidak akan diijinkan oleh Pihak Rumah Sakit untuk melihat anak Ibu.” Jawab petugas kepolisian itu bijak, tidak terdengar nada tersinggung dari ucapannya.

Kartika mencoba tenang. Dia sadar apa yang telah dilakukan petugas tersebut untuk membantunya. Dia juga sadar bahwa sepanjang perjalanan ke rumah sakit tadi, petugas ini menceritakan detil kejadian kecelakaan menurut saksi mata di tempat kejadian, namun dia tidak menyimak. Dia hanya sempat mendengar bahwa sepeda yang ditumpangi anak dan suaminya dilanggar sebuah jip besar, mobil yang lampunya tidak cukup terang, dan sepeda yang juga tidak berlampu itupun harus terbang bersama penumpangnya, untuk kemudian jatuh dan tidak bangun lagi. Sang petugas kemudian menceritakan usahanya mencari mobil yang sesuai dengan cirri-ciri yang diucapkan saksi mata, juga langkah apa saja yang telah diambil pihak kepolisian, tapi ia tidak menyimak. Pikirannya hanya ada ingatan saat ia mengusir anak dan suaminya dari rumah.

Langkahnya sempat tertahan di pintu ruang gawat darurat, kalau saja tanpa rekomendasi dari petugas tersebut dapat dipastikan Kartika tidak diijinkan masuk.

Kartika tertegun, suaranya tercekat. Apa yang disaksikannya sungguh mampu membuat jantungnya berhenti berdetak. Sekujur tubuh anaknya penuh balutan, namun didengarnya suara yang memanggil ibunya.

“Mamma! Mamma sssakit Ma! Mammma sssiinni Maa!”

“Iya Nak! Mama disini!”

“Mamma, Ppaapa manna Ma?” pertanyaan ini keluar dari bibir yang juga pecah dan mata menghitam. Hanya mulut dan mata saja yang tidak terbalut kasa.

“Papa bobo di tempat lain Nak!” Jawab Kartika sekenanya.

“Mammma jangaann maalah sama Paapa lagii yaa Maa! Kassiaann Paapa, Maa!”

“Tidak Nak! Mama tidak marah sama Papa, Mama juga tidak marah sama Fahri, Mama sayang kalian berdua.” Ingin rasanya Kartika peluk tubuh anaknya, kemudian diciumi untuk menunjukkan besar cintanya.

“Sekarang kamu bobo dulu ya! Nanti kalau sudah sehat, baru kita ngobrol lagi! Mama janji akan ajak Kamu main.”

Kini dilihatnya cahaya pada mata anak itu memudar, kemudian hilang. Anak lelakinya, anak satu-satunya ikut pergi menyusul Papanya. Kartika berteriak sejadinya, kemudian tidak tahu lagi apa yang terjadi.

Rumah yang dulu selalu saja berantakan, senantiasa gaduh, sekarang rapi bersih. Tidak terdengar lagi suara suaminya bermain perang-perangan dengan anaknya. Tidak ada lagi mainan tercecer, namun juga tidak ada lagi keceriaan. Rumah yang dulu penuh warna, dipadati suara gelak tawa, suara debat anaknya yang menolak disuruh tidur karena sudah larut malam. Kini rumah yang rapi bersih itu, layaknya tanah pemakaman; sepi.

Kalau saja Ia bisa memilih.
Bukan seperti ini;

Sunyi.

Jakarta, 04 Juli 2007
Mugi Subagyo

1 Comments:

Blogger Nistain Odop said...

Halo Pak Mugi, salam kenal dari saya. Selamat berkarya, trims udah mampir kerumah -blog-. Salut, anda cukup aktif dimilis. Salam best seller.

10:11 AM  

Post a Comment

<< Home


Islamic Calendar Widgets by Alhabib
Free Hijri Date

Kecantikan seseorang harus dilihat dari matanya, karena itulah pintu hatinya - tempat dimana cinta itu ada.