<body><script type="text/javascript"> function setAttributeOnload(object, attribute, val) { if(window.addEventListener) { window.addEventListener('load', function(){ object[attribute] = val; }, false); } else { window.attachEvent('onload', function(){ object[attribute] = val; }); } } </script> <div id="navbar-iframe-container"></div> <script type="text/javascript" src="https://apis.google.com/js/platform.js"></script> <script type="text/javascript"> gapi.load("gapi.iframes:gapi.iframes.style.bubble", function() { if (gapi.iframes && gapi.iframes.getContext) { gapi.iframes.getContext().openChild({ url: 'https://www.blogger.com/navbar.g?targetBlogID\x3d6581471201873128981\x26blogName\x3dCerpen+-+nya+Mugi\x26publishMode\x3dPUBLISH_MODE_BLOGSPOT\x26navbarType\x3dBLUE\x26layoutType\x3dCLASSIC\x26searchRoot\x3dhttps://mugi-cerpen.blogspot.com/search\x26blogLocale\x3den_US\x26v\x3d2\x26homepageUrl\x3dhttp://mugi-cerpen.blogspot.com/\x26vt\x3d-8510118826213891906', where: document.getElementById("navbar-iframe-container"), id: "navbar-iframe" }); } }); </script>

31 July 2007


MOTIF

Darah Roro mendidih sampai ke ruas jantungnya, pundaknya bergetar menahan api amarah dalam sekam hatinya, saat baru saja ia membaca kabar kematian bapaknya. Api seperti memercik dari wajahnya, mengeringkan tandas air mata, dan niatnya yang kokoh mengencang di ujung dendam. Derita batin yang tak tertahankan membalik kelut menjadi sunggingan, senyum mengerikan malaikat pencabut nyawa. Sontak Roro berdiri mengangkat wajahnya ke langit.

“Baiklah, baiklah.” Ucapnya seperti bercakap.

“Tuhan, jangan Kau tegur aku lagi, tapi dengarlah sumpahku.” Bibirnya bergetar kembali.

“Kau dengarlah sumpahku, Wahai Penentu Takdir. Kelak dalam perang yang kutentukan, akan kurobek dada si laknat Pamade,” (suara Roro menggumam muram, seperti raung singa menjelang ajal), “lalu akan kuminum darahnya, kuminum!”

Apotik hidup tempatnya berpijak, seolah baru saja mendengar petir meluruh. Anggrek tanah, asparagus, belimbing wuluh, bunga lili, kaca piring dan tanaman lain nampak menciut merasakan ngeri; sesuatu yang tak pantas telah terjadi.

Gadis molek bertubuh jangkung ini menunduk, matanya bertumpu pada surat yang tadi dibacanya. Dadanya yang telah menyiratkan kematangan seorang perempuan itu bergerak cepat turun naik, hidung bangirnya kembang kempis, mata bening itu kini semerah saga, bahkan kuning langsat kulitnya telah hilang dilebur pitam merah yang menghitam. Keadaan wanita yang selalu dicoba rebut hatinya oleh banyak pria ini, sungguh tak pantas disanding pria manapun, meski pria itu seorang pengkhianat.

Kertas itu tanggal dari tangan Roro. Hal pertama yang dirasakannya adalah sakit kepala, kemudian mual pada perutnya dan hilang sendi pada lututnya; kemudian rasa bersalah yang menghujam, dingin menghunus selingkungan tubuh, gamang dan takut; sesudah itu Ia ingin hari esok sudah tiba. Sejurus kemudian Ia bergerak menjumput kertas itu dan pergi ke kamarnya, kemudian diam-diam memasukkan ke dalam laci meja rias. Kini seakan-akan Roro sudah tahu apa yang akan terjadi dan bagaimana itu berlaku. Barangkali Ia memang mulai mengetahui meski samar atau Ia telah menjiwai dirinya yang akan datang.

Dalam hari yang semakin gelap sampai munculnya pagi, Roro menangisi bunuh diri yang dilakukan bapaknya. Ia teringat hari-hari bahagia yang dilalui bersama, Ia teringat rumah besar bertingkat dua yang pernah mereka tinggali. Pada tiap jendela atau pintu rumah itu, terpasang gorden seluas bidang jendela atau pintunya. Ada gorden bermotif untaian daun hijau tipis serasi dengan warna dinding bagian dalam rumahnya, juga gorden berwarna kuning gading seirama dengan kusen jendela pada lantai atas. Bermacam gorden tersebut menggunakan bahan berbeda pula; banyak yang menggunakan kain berserat sintetis, tebal atau tipis, bermotif atau polos dan juga gorden dari bahan tenun. Gorden ini hasil pabrik yang dikelola bapaknya: Raden Mas Bambang Irawan.

Roro terus menangis, ingatannya semakin terperosok dalam, dan berhenti pada masa empat tahun silam. Raden Roro Novianti masih berusia 18 tahun saat duduk di kelas tiga pada sebuah sekolah kejuruan. Sebagai anak satu-satunya keluarga Raden Mas Bambang, Roro mendapatkan kebahagiaan nyaris tak terukur. Siang itu Ia berjalan lenggang kangkung menuju rumah yang tidak jauh letaknya dengan sekolah. Tanpa menyadari bahwa itu adalah awal dari hari terakhir kebahagiaan rumah tangga kedua orangtuanya, yang berarti pula akhir kisah bahagia dirinya.

Pertengkaran hebat sedang terjadi ketika Roro membuka pintu, kehadirannya nyaris tak digubris kedua orangtua, hanya terdengar teriakan bapaknya yang memintanya segera masuk kamar. Dari dalam kamar, Ia mencuri dengar tentang pertengkaran yang dipicu rencana bapaknya untuk menikahi gadis yang berprofesi kepala akunting di kantor yang dikelola bapaknya. Roro menangis bingung, tak tahu harus bagaimana bertindak untuk anak perempuan seusianya. Kejadian selanjutnya dapat diterka, pertengkaran demi pertengkaran membuat Roro seakan pulang ke medan pertempuran. Seperti biasa, Ia hanya menangis, menggigit bibir menahan sakit; sakit di hati yang entah darimana datangnya. Perang terus berlanjut, hingga Roro menamatkan sekolah dan bingung membawa pulang ke rumah, nilai merosot prestasi akademik. Kali ini Roro kembali tidak tahu, bahwa Ia tak perlu menunjukkan nilai raportnya, karena memang tak ada lagi orang yang bisa ditunjukkan.

Ibunya telah mati! Di tangan pelaku yang adalah bapaknya sendiri. Petugas dari Satreskrim Polresta Semarang Barat mengatakan langsung hal ini. Roro merasakan sekeliling berputar, meski lambat, namun kegelapan dirasakan turun menyelimuti. Dengan pandangan yang terhalang air mata, sekilas Ia sempat melihat bapaknya digiring petugas, juga sambil meraung tangisan dan permintaan maaf.

“Istriku, maafkan Aku! Maafkan Aku! Maafkan…” gelap sudah; Roro pingsan.

Dalam persidangan, berkali-kali bapaknya bersumpah tidak membunuh istrinya. Namun pisau yang tertanam di dada Nyonya Bambang, tersemat sidik jari sang suami. Tuduhan diperkuat dengan saksi, seorang anak buah Raden Mas Bambang: Pamade.

Hukuman sepuluh tahun penjara harus ditelan Raden Mas Bambang Irawan, ditambah tuduhan penggelapan uang. Pamade mengajukan bukti tentang penggelapan dana tersebut dan bukti transfer ke rekening pribadi Raden Mas Bambang. Polemik yang terjadi dimenangkan Pamade; kini Ia menjabat pimpinan tertinggi Perusahaan Garment, yang dulu diduduki Raden Mas Bambang.

Roro masih membeci bapaknya, hingga saat Raden Mas Bambang mengucapkan kata-kata, Roro tak menyimak. Benci yang timbul karena kesedihan atas kehilangan ibunya, direnggut kebahagiaannya, yang terdalam adalah benci karena dipermalukan. Namun ucapan sang bapak masih didengar.

“Bapak tidak membunuh Ibumu Nak! Pamade pelakunya” sambil berbisik, Raden Mas Bambang meneruskan.

“Bapak juga tidak tahu menahu soal penggelapan uang, bahkan heran; darimana Bajingan itu memperoleh data.” Kemudian tangan Raden Mas Bambang ditarik ke belakang oleh petugas yang langsung memborgolnya.

Ucapan terakhir inilah yang menyadarkan Roro, bahwa Ia ikut andil dalam pengrusakan nama baik bapaknya. Ia ingat Pamade pernah memintanya mengambil tumpukan dokumen di ruang kerja dalam rumahnya dan mengembalikan ke Roro dua jam setelahnya, untuk kemudian diletakkan ke tempat semula. Roro masih tak mengerti, tapi Ia percaya sumpah yang diucapkan bapaknya di hari terakhir itu. Ia masih menyimpan rahasia itu hingga kini. Tidak diceritakannya pada seorangpun, bahkan kepada Surtini, teman dekatnya. Barangkali Roro takut menodai rahasia itu kalau tak ada orang yang percaya. Pamade tidak tahu bahwa Roro mengetahui hal ini, dan ini membuat Roro seakan memiliki kekuasaan akan keadilan yang harus dituntut.

Selama bapaknya di penjara, Roro tak pernah membesuknya. Orang-orang yang melihatnya, berpikir bahwa Roro membenci bapaknya, terlebih lagi kini Roro harus mencari nafkah hidupnya sendiri dan terpaksa tinggal di rumah kontrakan. Rumah besarnya disita, harta bapaknya ludes untuk membiayai perkara dan hal lainnya. Hanya perempuan muda yang dahulu hampir dinikahi Raden Mas Bambang, rajin menjenguk bapaknya. Dari wanita ini pula, Roro menerima kabar melalui surat.

Matahari mempertontonkan kekuatannya dengan menerobos masuk melalui celah-celah jendela kamar, meninggalkan bekas persegi yang bersinar. Roro menyudahi lamunannya, berdiri berjalan mantap untuk membilas tubuhnya. Setelah memalsukan wajah di depan cermin meja rias, tanpa sarapan Ia berjalan keluar, mengunci rumah dan menuju ke rumah kontrakan Surtini yang terletak bersebelahan, mereka berangkat kerja.

Sejak beberapa hari belakangan, di pabrik ada desas-desus akan ada pemogokan dalam waktu dekat; seperti biasa Roro menentang segala macam bentuk kekerasan. Setelah jam kerja usai, Ia pergi dengan Surtini ke balai pemeriksaan kesehatan, dan Roro mendaftarkan diri. Roro menulis namanya dalam buku pendaftaran pemeriksaan dengan huruf cetak yang besar-besar, bahkan berkali-kali menegaskan namanya pada petugas pendaftaran. Disana mereka bertemu dengan Rukmini dan Retno, mereka tinggal berdekatan, tapi di pabrik berbeda bagian. Rukmini dan Retno mengerjakan bagian khusus untuk gorden rangkapan berupa kain tile tipis yang tembus pandang samar-samar, yang dikenal dengan vitrage. Mereka bicara banyak tentang pekerjaan, rencana jalan-jalan yang akan diadakan bulan depan oleh pihak manajemen. Mereka berbincang tentang pacar-pacar, tentang rencananya pergi ke bioskop. Roro hanya mendengarkan, tak perlu bicara, karena laki-laki menimbulkan ketakutan yang tak wajar pada dirinya.

Sampai di rumah, Roro membuka laci meja rias dan membaca surat yang semalam disimpan, kemudian membakar dan membuangnya di halaman belakang dekat apotik hidup. Ia kembali masuk kamar, merebahkan diri di ranjang. Dia merasa bersalah dengan Surtini karena membatalkan rencana untuk mengantarnyai berbelanja, tapi malam ini Roro harus istirahat. Menjelang tidur Ia tersenyum mengingat langkah pertama dari rencananya berjalan mulus. Siang tadi Roro menelpon Tuan Pamade untuk menyampaikan bahwa tanpa sepengetahuan orang lain, Ia ingin memberitahukan tentang pemogokan dan berjanji akan datang ke ruangannya besok siang. Suaranya bergetar, sangat meyakinkan untuk seseorang yang akan mengkhianati teman-temannya. Dengan mata tertutup, Ia mengulang lagi rencananya; dengan mengulang ucapan dan pikiran, Roro bermaksud meneguhkan keberaniannya. Sampai tertidur.

Pagi itu Roro terbangun dan melaksanakan aktifitas rutinnya. Di pabrik Ia bekerja seperti biasa, hanya saja siang itu dia tidak langsung menemui Tuan Pamade untuk menepati janjinya, Roro pergi makan siang, tidak bersama Surtini, karena aturan shif yang diterapkan. Roro menuju warung-warung makan yang banyak terdapat di belakang pabrik, tapi tidak memasuki salah satunya, melainkan terus berjalan agak memutar menuju jalan besar, agak jauh dari pintu belakang pabrik.

Roro bertemu dengan supir truk yang biasa beristirahat di sepanjang tepian jalan sebelum melanjutkan perjalanan menuju kota lain, dimana banyak terdapat warung remang-remang. Warung-warung disini agak gelap meski di siang hari, letaknya terhimpit antara dinding pabrik yang menjulang di belakangnya, dan dinding bangunan SPBU di depannya. Roro menemui salah seorang supir yang berperawakan lebih kecil dan berbadan gemuk, supaya rasa jijik dan kebenciannya tetap murni. Roro diantar oleh supir tadi yang ternyata sudah hampir botak rambut belakangnya, mereka berjalan melewati gang sempit, berbelok dua kali, masuk ke dalam rumah yang pintunya rendah. Supir itu memberikan sejumlah uang pada pemuda yang duduk dekat pintu, kemudian pemuda itu menunjuk pada sebuah kamar.

Dalam kamar, supir gendut tersebut bergerak cepat merangkul Roro yang hampir membuatnya terbanting pada dipan dengan kasur tipis. Roro diam saja, hanya matanya terus memperhatikan lelaki di atas tubuhnya yang penuh peluh dan bau yang tak sedap. Roro menghirup dalam-dalam dendamnya, semakin lama dadanya semakin sesak. Tapi demi rencananya, Roro rela dijadikan alat pemuas nafsu laki-laki jorok di atas tubuhnya, karena laki-laki itu juga alat baginya: alat pemuas keadilan. Roro merasakan masa lalu terputus sebentar dengan masa depan, ia ketakutan. Ketakutan itu sebentar saja, terhimpit rasa sedih dan kejijikan pada tubuhnya. Ia tidak membuka mata saat ditinggalkan supir botak itu. Setelah beberapa lama Roro bangkit, mengenakan pakaian yang tadi ditanggalkan, ada sejumlah uang di dekatnya. Dengan uang itu Ia membeli makanan cukup banyak, untuk kemudian bungkusan makanan tersebut dibuang dalam perjalanan kembali ke pabrik.

“Hai Roro!” suara Surtini terdengar memanggilnya.

“Kamu tadi dicari Tuan Pamade, katanya sekarang juga disuruh menghadap ke ruangannya.” Surtini menyampaikan pesan yang dibumbui kecemasan pada wajahnya.
“Memang ada apa Roro? Kamu ada berbuat salah?” Tanya Surtini menguatkan kecemasannya.

“Mana Aku tahu! Aku baru saja selesai makan.” Jawab Roro meyakinkan.
“Memangnya Tuan Pamade tidak bilang ada perlu apa?” Roro balik bertanya.

“Tuan Pamade tidak bilang apa-apa. Lagipula mana berani Saya tanyakan itu padanya.”

“Ya sudah, kalau begitu biar saya menghadapnya sekarang.” Roro langsung berbalik pergi meninggalkan tanda tanya di hati Surtini; rupanya Surtini membaca gelagat yang kurang baik, tapi diam dan pergi ke belakang untuk makan.

Ruangan Tuan Pamade sangat besar, terpisah dengan bangunan lain. Ada teras yang dijaga dua orang petugas satpam. Roro bermaksud melaporkan kedatangannya pada petugas tersebut, tapi rupanya satpam sudah mengetahui akan kedatangannya karena langsung diminta masuk tanpa diantar. Mungkin Tuan Pamade telah berpesan pada mereka dan melarang mereka mengantar ke dalam. “Hmm.. sesuai dengan rencana.” Batin Roro. Dalam ruang tunggu, Roro ragu melanjutkan langkah kakinya. Ruangan itu masih sama dengan empat tahun yang lalu saat ruangan ini masih ditempati bapaknya, hanya kursi dan meja saja berganti baru. Roro menguatkan diri terus melangkah. Dalam ruangan yang penuh pajangan dinding berupa macam-macam senjata (sejak empat tahun lalu, sesuai cerita orang-orang bahwa tidak ada perubahan dalam tata ruang pimpinan perusahaan tersebut) telah duduk Tuan Pamade menunggu laporan empat mata darinya.

Tuan Pamade belumlah terlihat tua, rambutnya lebat dan hitam, giginya lengkap, bentuk mukanya agak lancip. Mata Tuan Pamade teduh, seperti mata seorang ibu yang penuh kasih terhadap anaknya. Kulitnya putih bersih, juga hidungnya tidak seperti kebanyakan pria Jawa; hidung itu mancung memayungi bibirnya yang tipis memerah. Pantaslah bila Ia diberi nama Pamade, nama lain dari Arjuna pada cerita tokoh pewayangan. Pria inipun terlihat menawan, nyaris seperti perempuan.

Roro gamang menyaksikan kenyataan ini, keinginannya untuk membalas kematian ayahnya jadi goyah. Tapi Roro harus membunuhnya setelah mengalami aib yang telah direncanakannya dengan sempurna. Sambil duduk berhadapan, Roro tertunduk malu-malu memohon maaf dan menyatakan rasa tanggung jawabnya sebagai pekerja yang setia, membuat ia melakukan pengkhianatan terhadap teman-temannya. Roro menyebutkan beberapa nama, berhenti sejenak, lalu menyebutkan nama lainnya lamat-lamat, kemudian terdiam. Roro diam dan gemetar, seakan-akan dikecam ketakutan yang sangat. Tuan Pamade heran menyaksikan reaksi Roro yang berlebih, tapi dia menanggapinya dengan ramah. Tuan Pamade pergi sebentar ke dalam untuk mengambil segelas air putih. Kesempatan ini tidak disia-siakan Roro, segera ia gamit pisau yang cukup besar dan berat dari pajangan dinding, kemudian ia kepitkan di pahanya dalam balutan rok panjang.

Tuan Pamade keluar membawa segelas air, kemudian diletakkan di samping Roro sambil menyentuh pundaknya guna menenangkan, sambil menyuruhnya minum. Saat itu Roro bangkit berdiri dengan tiba-tiba, menghujamkan belati, mencabutnya dan menghujam lagi berkali-kali. Kaget atas perlakuan pada dirinya yang tiba-tiba, Tuan Pamade hanya sempat menatap Roro dengan kaget bercampur marah, tapi tak bisa mengeluarkan kata-kata karena tusukan pertama, tepat menembus jantungnya. Hanya dari wajahnya terkumpul makian yang tak terlontar, darah merah mengalir membasahi dadanya; Tuan Pamade tewas.

Roro belum bisa beristirahat ia mengacaukan kursi tempatnya duduk, meja dekat sofa dan karpet bulu, pajangan dekat pisau yang ia ambil tak luput diobrak-abrik. Roro membuka kancing baju mayat, menarik dan mengguncangkannya membuat darah yang keluar semakin banyak, semakin banyak pula cairan merah tersebut direguk Roro seperti kehausan. Kemudian Ia berlari keluar berteriak-teriak. Roro berulangkali mengucapkan kejadian perkosaan atas dirinya saat ia memenuhi panggilan berkenaan dengan pemogokan.

“Ia memperkosa Saya, Ia menghancurkan Saya, Saya bunuh dia!” histeris Roro berkali-kali.

Cerita Roro memang sulit dipercaya, tapi semua orang mempercayainya karena dasarnya cocok, nada suara dan kalutnya benar, malunya benar, kehilangan keperawanannya benar, alibi senjata yang digunakan benar, aibnya benar, kebencian yang menimbulkan amarahnya benar, alasannya membunuh benar. Hanya kejadian dan waktunya yang tidak benar.

“Aku telah membalas kematian orangtuaku, dan aku tak dapat dihukum..” desis Roro.


Jakarta, 31 Juli 2007
Mugi Subagyo

0 Comments:

Post a Comment

<< Home


Islamic Calendar Widgets by Alhabib
Free Hijri Date

Kecantikan seseorang harus dilihat dari matanya, karena itulah pintu hatinya - tempat dimana cinta itu ada.