HARGA CINTA SEJATI
Jakarta, Juli 1990
Curug Nangka, Bogor, Juli 1990
Jakarta, Januari 1992
Jakarta, Desember 1997
Yogyakarta, Juli 2004
Jakarta, 31 Juli 2007
Jakarta, 17 Agustus 2007
Mugi Subagyo
Saat-saat yang kureguk bersamamu
Laksana taman yang mewangi
Senja yang temaram
Dan air mancur yang bernyanyi
… Kau
Dan hanya Kau satu-satunya
Yang mampu membuatku merasa hidup
…
Menurut cerita
Ada orang yang pernah melihat bidadari
Tapi Aku sudah melihatmu
… Dan itu sudah cukup
Laksana taman yang mewangi
Senja yang temaram
Dan air mancur yang bernyanyi
… Kau
Dan hanya Kau satu-satunya
Yang mampu membuatku merasa hidup
…
Menurut cerita
Ada orang yang pernah melihat bidadari
Tapi Aku sudah melihatmu
… Dan itu sudah cukup
Ada bintang dalam mata seorang gadis mungil berwajah lembut dan sangat manis, saat menunjukkan sajak pendek dari seseorang yang Ia yakini menyimpan kerinduan miliknya. Saat itu, pelajaran sekolah belum lagi dimulai, dan seperti biasa, Aku menuju kantin di samping kelas untuk sarapan ketoprak lontong. Belum juga setengahnya kumakan, kulihat Pratiwi berlari mendekatiku.
“Abang! Lihat Bang! Aku dapat surat cinta.” Gadis hitam manis berdagu lancip mengabarkan kegembiraan hatinya melalui bibir tipis, agak berteriak.
“Dari siapa?” pertanyaan ini kulemparkan bersamaan dengan membaca tulisan di bagian dalam buku yang Ia perlihatkan.
“Dari Abang Palguna.” Jawabnya mantap.
“Darimana Kamu tahu ini dari Palguna?” Kukembalikan buku itu dengan kesangsian “Di situ tidak tertera namanya” kulanjutkan mengunyah tauge yang diberi bumbu kacang.
“Ini sudah pasti dari Dia Bang! Karena Dia yang meminjam dariku tiga hari yang lalu.” Pratiwi mengambil duduk di dekatku. Kami sudah lama berteman, meski di SMA ini, kami beda kelas dan jurusan, namun sering bepergian dengannya bersama teman-teman lain. Dan karena rumah kami berdekatan, Pratiwi memanggilku dengan sebutan Abang. Katanya: saya baik dan penuh perhatian layaknya seorang kakak terhadap adiknya. Mungkin juga karena memang dia anak satu-satunya.
“Meski begitu, belum tentu Palguna yang menulis, walau kemungkinan besarnya tulisan itu ditujukan untukmu.” Dua teguk teh hangat membantu masuk makanan yang sempat tercekat di kerongkongan.
“Lagipula, Kamu tahu sendiri, bahwa buku itu kita gunakan bersama-sama kemarin malam.” Kucoba mengingatkan.
“Meski kita belajar kelompok di rumah Palguna; disana ada Bismaka, Tejo, Sarka dan …” Kuarahkan ibu jari ke dada sendiri.
“Atau bisa jadi tulisan itu buat Utari, kan dia juga ikut kemarin.” Ledekku pada Pratiwi.
“Tidak Bang! Ini pasti dari Palguna. Saya hapal bentuk tulisannya.” Tegas Pratiwi seakan ingin meyakinkanku atau mungkin untuk meyakinkan dirinya sendiri.
“Lho! Kami berempat memang mirip tulisannya, kecuali Tejo yang mempunyai tulisan sangat indah seperti tulisan anak perempuan.” Kutunjuk Tejo yang baru datang, masih dengan menjinjing tas karung goninya.
“Iya. Tulisannya bagus mirip tulisan anak perempuan.” Pratiwi bangkit berdiri.
“Tapi anak perempuan yang tidak sekolah!” Pratiwi menjauh setelah mengambil dua-tiga kerupuk dari piring makanku. Aku hanya tersenyum mendengar ejekannya.
Kulihat mereka berpapasan dan terjadi sedikit pembicaraan. Tidak lama kemudian Tejo menghampiriku.
“Yah.. Sekarang datang pengacau.” Batinku.
“Hey Broer! Tumben datang pagi-pagi, apa semalam nginap di sekolah? Pertanyaan basi yang sering dilontarkan Tejo, tidak kujawab.
“Tadi papasan dengan Pratiwi, Dia bicara apa?” Langsung saja kutanyakan itu.
“Oh.. Tidak tahu tuh! Dia langsung menuduhku mencoret-coret bukunya yang kita pakai belajar bersama kemarin malam.”
“Lalu?” sergapku.
“Ya Tidak-lah, mana Aku tahu soal bukunya. Kemarin malam kan Aku yang melontarkan pertanyaan, kalian yang menjawab dengan referensi buku itu.” Tejo menjawab sambil memesan ketoprak lontong, dan kepada Mas Rasino penjual ketoprak, Tejo menunjuk ke arahku, menjelaskan maksudnya mengenai siapa yang akan membayar, kemudian mengambil gelas minumku yang hampir tandas diminumnya, jika tidak kurebut.
Percakapan selanjutnya dengan Tejo, lebih banyak bercerita tentang rencana kami untuk kemping akhir minggu ini, jadi kami susun rencana. Mudah ditebak siapa-siapa yang akan diikut-sertakan.
------“Abang! Lihat Bang! Aku dapat surat cinta.” Gadis hitam manis berdagu lancip mengabarkan kegembiraan hatinya melalui bibir tipis, agak berteriak.
“Dari siapa?” pertanyaan ini kulemparkan bersamaan dengan membaca tulisan di bagian dalam buku yang Ia perlihatkan.
“Dari Abang Palguna.” Jawabnya mantap.
“Darimana Kamu tahu ini dari Palguna?” Kukembalikan buku itu dengan kesangsian “Di situ tidak tertera namanya” kulanjutkan mengunyah tauge yang diberi bumbu kacang.
“Ini sudah pasti dari Dia Bang! Karena Dia yang meminjam dariku tiga hari yang lalu.” Pratiwi mengambil duduk di dekatku. Kami sudah lama berteman, meski di SMA ini, kami beda kelas dan jurusan, namun sering bepergian dengannya bersama teman-teman lain. Dan karena rumah kami berdekatan, Pratiwi memanggilku dengan sebutan Abang. Katanya: saya baik dan penuh perhatian layaknya seorang kakak terhadap adiknya. Mungkin juga karena memang dia anak satu-satunya.
“Meski begitu, belum tentu Palguna yang menulis, walau kemungkinan besarnya tulisan itu ditujukan untukmu.” Dua teguk teh hangat membantu masuk makanan yang sempat tercekat di kerongkongan.
“Lagipula, Kamu tahu sendiri, bahwa buku itu kita gunakan bersama-sama kemarin malam.” Kucoba mengingatkan.
“Meski kita belajar kelompok di rumah Palguna; disana ada Bismaka, Tejo, Sarka dan …” Kuarahkan ibu jari ke dada sendiri.
“Atau bisa jadi tulisan itu buat Utari, kan dia juga ikut kemarin.” Ledekku pada Pratiwi.
“Tidak Bang! Ini pasti dari Palguna. Saya hapal bentuk tulisannya.” Tegas Pratiwi seakan ingin meyakinkanku atau mungkin untuk meyakinkan dirinya sendiri.
“Lho! Kami berempat memang mirip tulisannya, kecuali Tejo yang mempunyai tulisan sangat indah seperti tulisan anak perempuan.” Kutunjuk Tejo yang baru datang, masih dengan menjinjing tas karung goninya.
“Iya. Tulisannya bagus mirip tulisan anak perempuan.” Pratiwi bangkit berdiri.
“Tapi anak perempuan yang tidak sekolah!” Pratiwi menjauh setelah mengambil dua-tiga kerupuk dari piring makanku. Aku hanya tersenyum mendengar ejekannya.
Kulihat mereka berpapasan dan terjadi sedikit pembicaraan. Tidak lama kemudian Tejo menghampiriku.
“Yah.. Sekarang datang pengacau.” Batinku.
“Hey Broer! Tumben datang pagi-pagi, apa semalam nginap di sekolah? Pertanyaan basi yang sering dilontarkan Tejo, tidak kujawab.
“Tadi papasan dengan Pratiwi, Dia bicara apa?” Langsung saja kutanyakan itu.
“Oh.. Tidak tahu tuh! Dia langsung menuduhku mencoret-coret bukunya yang kita pakai belajar bersama kemarin malam.”
“Lalu?” sergapku.
“Ya Tidak-lah, mana Aku tahu soal bukunya. Kemarin malam kan Aku yang melontarkan pertanyaan, kalian yang menjawab dengan referensi buku itu.” Tejo menjawab sambil memesan ketoprak lontong, dan kepada Mas Rasino penjual ketoprak, Tejo menunjuk ke arahku, menjelaskan maksudnya mengenai siapa yang akan membayar, kemudian mengambil gelas minumku yang hampir tandas diminumnya, jika tidak kurebut.
Percakapan selanjutnya dengan Tejo, lebih banyak bercerita tentang rencana kami untuk kemping akhir minggu ini, jadi kami susun rencana. Mudah ditebak siapa-siapa yang akan diikut-sertakan.
Curug Nangka, Bogor, Juli 1990
Pratiwi mendekatiku dengan kegundahan, saat kami ber-enam asik bermain gitar dan bernyanyi di dekat air terjun. Kutinggalkan teman-teman sejenak, karena kulihat tangannya melambai memanggil.
Pratiwi kembali menunjukkan secarik kertas. Kuambil lampu badai, kemudian kudekati dan kubaca apa yang tertulis.
Pratiwi kembali menunjukkan secarik kertas. Kuambil lampu badai, kemudian kudekati dan kubaca apa yang tertulis.
Pratiwi,
Andaikan kumiliki pakaian bersulam dari surgawi
Terbuat dari cahaya emas dan perak asli
Pakaian berwarna hitam, lembayung dan merah hati
Terbuat dari malam, siang dan sore hari
Akan kuhamparkan pakaian-pakaian itu di bawah kakimu.
…
Tapi Aku seorang hina yang hanya memiliki mimpi
Dan telah kuhamparkan mimpi-mimpiku di bawah kakimu
Mimpi yang terjalin lembut
Karena Engkau-lah
Yang membuat mimpi-mimpiku menjadi kenyataan.
Andaikan kumiliki pakaian bersulam dari surgawi
Terbuat dari cahaya emas dan perak asli
Pakaian berwarna hitam, lembayung dan merah hati
Terbuat dari malam, siang dan sore hari
Akan kuhamparkan pakaian-pakaian itu di bawah kakimu.
…
Tapi Aku seorang hina yang hanya memiliki mimpi
Dan telah kuhamparkan mimpi-mimpiku di bawah kakimu
Mimpi yang terjalin lembut
Karena Engkau-lah
Yang membuat mimpi-mimpiku menjadi kenyataan.
Kini tulisan itu jelas diperuntukkan buat Pratiwi, dari seseorang diantara kami yang menaruh hati padanya, namun pengecut untuk berterus terang, atau mungkin masih belum berani menyematkan namanya.
“Sekarang jelas kan? Cinta itu untukku!” Pratiwi berbisik sambil mendesah.
“Iya!” Singkat saja kujawab.
“Itu artinya: Abang Palguna memang suka padaku seperti Aku menyukainya.” Masih dengan keyakinan pada seseorang, Pratiwi melanjutkan.
“Mulai hari ini, akan Aku berikan cinta dan kasih sayangku padanya” pupil mata Pratiwi membesar untuk memberikan ketajaman fokus dari penglihatannya; lurus datar membidik Palguna. Nampak jelas kebahagiaan seperti tumpah meluap ternoda kebanggaan.
Hanya wanita berselera aneh yang tak menyukai Palguna, pria berpostur tinggi gagah dengan otot-otot seperti dicetak dari gen-gen berkualitas. Palguna memiliki dua wajah sekaligus; wajah seorang pejuang dan kelembutan gadis pesolek, meski itu alamiah. Pembauran yang membuat orang lain akan memberikan penilaian terhadapnya sebagai Pria yang Cantik.
“Bahkan tubuhku-pun akan kupasrahkan padanya.” Sebuah pernyataan biasa, keluar dari mulut seseorang yang mengkultuskan orang lain.
“Mungkin agak berlebihan,” kutanggapi pernyataan Pratiwi “namun cinta yang besar, jangan sampai membutakan hati dan pikiranmu.” Kulanjutkan pemaparan bersangkutan dengan diri Palguna yang kukenal. Sebagaimana pria seusia kami, masih menyukai kebebasan, petualangan dan pencarian jati diri, jauh dari rencana masa depan.
Pratiwi membantahku, dan ini untuk pertama kali sejak kukenal dia lebih dari tujuh tahun lalu. Dia tetap pada keyakinan cintanya. Kembali kuingatkan pandangan mereka yang berbeda; juga dibantahnya dengan tameng “cinta sejati”.
-----“Sekarang jelas kan? Cinta itu untukku!” Pratiwi berbisik sambil mendesah.
“Iya!” Singkat saja kujawab.
“Itu artinya: Abang Palguna memang suka padaku seperti Aku menyukainya.” Masih dengan keyakinan pada seseorang, Pratiwi melanjutkan.
“Mulai hari ini, akan Aku berikan cinta dan kasih sayangku padanya” pupil mata Pratiwi membesar untuk memberikan ketajaman fokus dari penglihatannya; lurus datar membidik Palguna. Nampak jelas kebahagiaan seperti tumpah meluap ternoda kebanggaan.
Hanya wanita berselera aneh yang tak menyukai Palguna, pria berpostur tinggi gagah dengan otot-otot seperti dicetak dari gen-gen berkualitas. Palguna memiliki dua wajah sekaligus; wajah seorang pejuang dan kelembutan gadis pesolek, meski itu alamiah. Pembauran yang membuat orang lain akan memberikan penilaian terhadapnya sebagai Pria yang Cantik.
“Bahkan tubuhku-pun akan kupasrahkan padanya.” Sebuah pernyataan biasa, keluar dari mulut seseorang yang mengkultuskan orang lain.
“Mungkin agak berlebihan,” kutanggapi pernyataan Pratiwi “namun cinta yang besar, jangan sampai membutakan hati dan pikiranmu.” Kulanjutkan pemaparan bersangkutan dengan diri Palguna yang kukenal. Sebagaimana pria seusia kami, masih menyukai kebebasan, petualangan dan pencarian jati diri, jauh dari rencana masa depan.
Pratiwi membantahku, dan ini untuk pertama kali sejak kukenal dia lebih dari tujuh tahun lalu. Dia tetap pada keyakinan cintanya. Kembali kuingatkan pandangan mereka yang berbeda; juga dibantahnya dengan tameng “cinta sejati”.
Jakarta, Januari 1992
Pratiwi,
Aku tidak tahu awalnya hingga akhirnya kalian bisa jalan bersama, berdua saja; tidak pernah Engkau ceritakan itu. Aku hanya menampung keluh kesah, curhat hingga permohonan untuk menolongmu, berkali-kali membantumu. Dan ketika kembali kuingatkan tentang kelanggengan hubungan kalian, kembali pula tameng “cinta sejati” kau gunakan.
“Apa Abang masih tidak percaya bahwa cinta sejati itu memang ada?” Tanyamu sedikit tersinggung.
“Maaf, tapi cinta sejati itu seperti hantu,” sanggahku “hampir semua orang membicarakannya, namun hanya sedikit yang benar-benar pernah menjumpainya.” Sambil mengalihkan pandangan, perkataan ini kuberi tekanan.
“Ah.. Abang Cuma iri!”
“Abang tidak senang dengan kedekatan Kami, karena itu berarti Kami akan lebih sering berdua”
“tanpa mengikut-sertakan Abang.” Ucapmu membalik posisi rasa tersinggung.
“Baik! Aku akan membantumu sampai tidak lagi dibutuhkan.” Aku mengalah.
Aku tidak tahu awalnya hingga akhirnya kalian bisa jalan bersama, berdua saja; tidak pernah Engkau ceritakan itu. Aku hanya menampung keluh kesah, curhat hingga permohonan untuk menolongmu, berkali-kali membantumu. Dan ketika kembali kuingatkan tentang kelanggengan hubungan kalian, kembali pula tameng “cinta sejati” kau gunakan.
“Apa Abang masih tidak percaya bahwa cinta sejati itu memang ada?” Tanyamu sedikit tersinggung.
“Maaf, tapi cinta sejati itu seperti hantu,” sanggahku “hampir semua orang membicarakannya, namun hanya sedikit yang benar-benar pernah menjumpainya.” Sambil mengalihkan pandangan, perkataan ini kuberi tekanan.
“Ah.. Abang Cuma iri!”
“Abang tidak senang dengan kedekatan Kami, karena itu berarti Kami akan lebih sering berdua”
“tanpa mengikut-sertakan Abang.” Ucapmu membalik posisi rasa tersinggung.
“Baik! Aku akan membantumu sampai tidak lagi dibutuhkan.” Aku mengalah.
Jakarta, Desember 1997
Pernikahan kalian-pun dapat terlaksana, meski untuk itu Aku menerima hinaan, cercaan dari mertuamu. Itu kuterima, wajar mereka marah karena Aku membuat anaknya berpindah keyakinan. Namun itu belum juga cukup untuk menahanmu menggunakan campur-tanganku. Kulakukan itu semua, meski awalnya kebimbangan menggantikan bayanganku, tapi tetap saja kulakukan itu Pratiwi, untuk kebahagiaanmu.
Yogyakarta, Juli 2004
Tujuh tahun usia pernikahan kalian, rupanya belum juga cukup dalam membentuk pribadi yang saling membutuhkan. Surat yang Kau layangkan bercerita tentang putus asa, hanya keputus-asaan. Keindahan sajak atau puisi dari suamimu tidak lagi Kau rasakan, apalagi isinya. Kalian berpisah, dengan sebuah keputusan berlandaskan amarah; talak tiga, sebuah keputusan yang tidak lagi memungkinkan untuk mempersatukan kalian kembali. Meski Aku datang kembali.
Pratiwi,
Kamu tidak akan tahu, bahwa Aku menangis membaca suratmu. Aku menyesal tidak mengatakan kebenaran tentang orang yang pernah Kau cintai sepenuh hati. Karena kekhawatiran akan merusak kebahagiaanmu, Aku memilih diam, menjadi pengecut.
-----Pratiwi,
Kamu tidak akan tahu, bahwa Aku menangis membaca suratmu. Aku menyesal tidak mengatakan kebenaran tentang orang yang pernah Kau cintai sepenuh hati. Karena kekhawatiran akan merusak kebahagiaanmu, Aku memilih diam, menjadi pengecut.
Pratiwi nyaris menutup buku agenda yang dahulu pernah diberikannya untukku, namun tulisan di akhir buku menghentikannya.
Ya! Pratiwi datang menemuiku meminta bantuan untuk mengadakan reuni guna mengisi kekosongan hati dan jiwanya. Mungkin juga Pratiwi beranggapan bahwa Aku pasti mau membantunya. Dilihatnya Aku memiliki banyak waktu karena sampai saat ini masih hidup sendiri. Buku agenda tersebut kususun rapi di lemari kaca, namun Ia mengenali, kemudian mengambil untuk membacanya. Dan ini terjadi saat kutinggalkan Ia di ruang tunggu, untuk kubuatkan telur mata sapi kesukaannya.
Aku kembali padanya, dua piring nasi lengkap dengan telur mata sapi hampir terlepas dari tanganku. Pratiwi menubrukku dengan tangisnya yang menjadi. Mataku berkeliling mencari sebabnya. Kulihat buku agendaku tergeletak , terbuka pada halaman terakhir. Disana jelas kuhafal tulisan yang belum lama kutulis:
Ya! Pratiwi datang menemuiku meminta bantuan untuk mengadakan reuni guna mengisi kekosongan hati dan jiwanya. Mungkin juga Pratiwi beranggapan bahwa Aku pasti mau membantunya. Dilihatnya Aku memiliki banyak waktu karena sampai saat ini masih hidup sendiri. Buku agenda tersebut kususun rapi di lemari kaca, namun Ia mengenali, kemudian mengambil untuk membacanya. Dan ini terjadi saat kutinggalkan Ia di ruang tunggu, untuk kubuatkan telur mata sapi kesukaannya.
Aku kembali padanya, dua piring nasi lengkap dengan telur mata sapi hampir terlepas dari tanganku. Pratiwi menubrukku dengan tangisnya yang menjadi. Mataku berkeliling mencari sebabnya. Kulihat buku agendaku tergeletak , terbuka pada halaman terakhir. Disana jelas kuhafal tulisan yang belum lama kutulis:
Jakarta, 31 Juli 2007
Pratiwi,
Engkau bisa menyerahkan dirimu kepada orang lain,
tetapi tidak ada orang yang bisa mencintaimu lebih murni,
lebih sempurna dariku.
Tak ada yang bisa merasakan kebahagiaanmu sesuci yang kurasakan,
dan selamanya kurasakan seperti itu.
Dan di dalam hati ini,
semua itu mempunyai sebuah ruangan yang tenang,
berlangit-langit tinggi,
diterangi sinar matahari.
Dimana ada sebuah tempat tidur putih,
dan Dirimu.
Aku tahu,
Mencintai seseorang,
berarti kehilangan waktu atas diri
Mencintai seseorang,
berarti siap terluka, kecewa bahkan sakit hati
Karena itulah…
Aku mencintaimu.
-----Engkau bisa menyerahkan dirimu kepada orang lain,
tetapi tidak ada orang yang bisa mencintaimu lebih murni,
lebih sempurna dariku.
Tak ada yang bisa merasakan kebahagiaanmu sesuci yang kurasakan,
dan selamanya kurasakan seperti itu.
Dan di dalam hati ini,
semua itu mempunyai sebuah ruangan yang tenang,
berlangit-langit tinggi,
diterangi sinar matahari.
Dimana ada sebuah tempat tidur putih,
dan Dirimu.
Aku tahu,
Mencintai seseorang,
berarti kehilangan waktu atas diri
Mencintai seseorang,
berarti siap terluka, kecewa bahkan sakit hati
Karena itulah…
Aku mencintaimu.
Akhirnya Pratiwi mengerti akan makna cinta sejati, meski untuk itu ada harga yang harus dibayar. Banyak waktu telah pupus, dan waktu tak pernah mau menunggu, ia ibarat pedang, yang memotong usia tanpa terlihat.
Jakarta, 17 Agustus 2007
Mugi Subagyo
0 Comments:
Post a Comment
<< Home