<body><script type="text/javascript"> function setAttributeOnload(object, attribute, val) { if(window.addEventListener) { window.addEventListener('load', function(){ object[attribute] = val; }, false); } else { window.attachEvent('onload', function(){ object[attribute] = val; }); } } </script> <div id="navbar-iframe-container"></div> <script type="text/javascript" src="https://apis.google.com/js/platform.js"></script> <script type="text/javascript"> gapi.load("gapi.iframes:gapi.iframes.style.bubble", function() { if (gapi.iframes && gapi.iframes.getContext) { gapi.iframes.getContext().openChild({ url: 'https://www.blogger.com/navbar.g?targetBlogID\x3d6581471201873128981\x26blogName\x3dCerpen+-+nya+Mugi\x26publishMode\x3dPUBLISH_MODE_BLOGSPOT\x26navbarType\x3dBLUE\x26layoutType\x3dCLASSIC\x26searchRoot\x3dhttps://mugi-cerpen.blogspot.com/search\x26blogLocale\x3den_US\x26v\x3d2\x26homepageUrl\x3dhttp://mugi-cerpen.blogspot.com/\x26vt\x3d-8510118826213891906', where: document.getElementById("navbar-iframe-container"), id: "navbar-iframe" }); } }); </script>

12 December 2007


IMPUNITY

Suara letusan pistol Glock 17 berkaliber 9x19mm yang memuntahkan peluru, menciptakan lubang gosong di pojok langit-langit ruangan. Pengunjung panik, sebagian berlari, yang lain beringsut perlahan dengan mata terus mengawasi pada orang-orang di pojok meja sisi utara, dekat pintu masuk. Perlahan atau tergesa, yang pasti mereka berusaha menjauhi pertikaian yang sedang terjadi, keluar untuk kemudian mencari tempat hingar-bingar lain.
Pemicu kembali ditarik dengan arah lurus pada kening.

“Clak!”

Calon korban beruntung; senjata jenis ini memiliki pengaman otomatis yang tiap kali ditembakkan akan langsung mengunci pemicunya. Satu hal yang terlupa oleh Pelaku, akibat amarah yang menguasainya. Ini memberikan kesempatan pada seseorang di dekat korban untuk menubruk pelaku, berguling, saling hantam.

Pelaku penembakan tidak sendirian. Ada dua orang pengawal menyertai, Dia menarik paksa si penyerang yang berusaha merebut senjata, dan seorang lagi menarik orang yang dilindunginya sambil menepak pistolnya. Sementara orang yang nyaris lepas nyawanya, masih terkesiap tak mampu bertindak. Temannya yang berusaha merampas senjata dengan menubruk pelaku penembakan, terjajar dalam posisi kaki ditekuk sambil memegang perutnya yang serasa diaduk akibat tendangan yang mendarat, sesaat setelah dirinya terbetot ke belakang.

“Banjo! Lepasin Gue! Biar Gue matiin sekalian tuh monyet sialan” Raung pelaku penembakan.

“Jangan Bos! Inget Bos, Kita di sini buat seneng-seneng, bukan cari perkara.” Bujuk Banjo, pengawalnya.

“Iya Bos, Mending Kita cepet-cepet pergi dari sini.” Ucap seorang lagi, setelah dengan cekatan memungut pistol yang sempat terjatuh saat direbut paksa oleh Banjo.

“Elu yang Bajingan! Beraninya pakai senjata.” Kini calon korban yang berteriak, rupanya Ia sudah bisa menguasai kekagetannya dan kembali menantang.

“Diam Luh!” Bentak Okta, si pengawal, sambil mengacungkan pistol yang kini di tangannya.

Mungkin kekacauan itu akan terus berlanjut hingga memakan korban, kalau saja serombongan polisi dengan senjata siap meledak, tidak segera menghambur masuk. Rupanya sejak keributan awal terjadi, petugas keamanan diskotik telah membaca gelagat buruk, hingga cepat-cepat menghubungi kepolisian.

Di Rumah Sakit MMC Rasuna Said, Kisworo sedang menunggui anak majikannya yang baru saja terlepas dari maut, akibat kegemarannya mengkonsumsi narkotika jenis shabu-shabu dan pil-pil bulat jenis Halusinogen yang dapat merubah perasaan dan pikiran hingga mampu merubah daya pandang seseorang.

Kisworo duduk di ruang tunggu, termenung, membayangkan rehabilitasi medis yang akan diurusnya untuk si anak majikan. Sebuah pekerjaan yang sulit, tak sembarang orang boleh mengetahui bahwa si pecandu adalah anak seorang pejabat tinggi di pemerintahan. Kisworo berencana… (handphonenya bergetar) Sebelum berbunyi dan mengganggu ketentraman rumah sakit, segera Ia angkat untuk bicara.

“Kis, dimana Kamu?” terdengar suara berat di seberang.

“Masih menunggui Eko di rumah sakit Pak.” Kis menjawab bangga, merasa setia, hingga jam tiga pagi tanpa tertidur.

“Suruh orang lain buat jaga si Eko, Kamu cepat ke Polres Jakarta Selatan!” perintah suara di telponnya sempat membuat Kisworo kaget. “Polres Jakarta Selatan” pikirnya.

“Cepat Kamu urus si Dwi.” Dan “klik,” pembicaraan di putus. Artinya Kisworo harus segera melaksanakan perintah.

Kisworo mendengarkan dengan tekun penjelasan Kapolres Jakarta Selatan perihal peristiwa penembakan yang dilakukan Dwi, anak majikannya. Solusinya mudah, seperti biasa. Dia menekan beberapa nomer, berbicara dengan seseorang. Tak lama setelahnya, orang tersebut menghubungi Kapolres Jaksel. Terjadi negosiasi harga, Kapolres dan Kisworo sama-sama puas. Kini tinggal urusannya dengan wartawan, agar wartawan yang hadir tidak menuliskan berita sebagaimana kenyataannya, dengan imbalan yang tidak sedikit tentunya. Namun kali ini Kisworo tak lagi peduli besarnya biaya yang harus dibayar majikannya; mungkin Dia berpikir berapapun hebatnya bernegosiasi, tetap saja dirinya yang disalahkan atas pengeluaran sejumlah uang.

Urusan tuntas. Kisworo pamit pulang, bukan untuk istirahat, melainkan tugas berikutnya.

Memang Sang Majikan memiliki sekretaris pribadi yang mengurus masalah administrasi, namun soal relasi, hanya Kisworo yang dipercaya, hanya dia ahlinya. Pagi itu seusai membasuh tubuh dan berganti pakaian, Kisworo berjalan meninggalkan pandangan istrinya yang nampak trenyuh melihat kenyataan.

Kami menghadiri acara ulang tahun anak ke-tiga sang Boss Besar. Aku dan Pak Roni bekerja di salah satu anak perusahaan yang dimilikinya. Kami pilih tempat paling pojok. Meski bukan sekali ini hadir untuk acara-acara sepele yang diselenggarakan dengan mewah, namun tetap merasa asing di antara banyak kenalannya dari anak perusahaan lain.

Acara belum dimulai, meski sebagian besar tamu yang kesemuanya menduduki posisi penting telah hadir, memenuhi ruangan luas di belakang rumah yang juga berfungsi sebagai dermaga. Ada dua buah Yacht (kapal pesiar) yang diparkir melintang pada permukaan laut yang berair tenang. Kami mengambil piring kecil dan mengisinya dengan seikat buah anggur dan beberapa buah jeruk, lalu duduk kembali di pojok dekat laut dan buritan dari sebuah kapal pesiar.

Tamu kehormatan yang ditunggu tiba berbarengan: Kapolri dan Pejabat BIN. Acara dibuka oleh MC kocak, seorang selebritas wanita yang sesungguhnya laki-laki. Sebelumnya telah hadir pejabat-pejabat negara dan para pemimpin partai besar. Kisworo berjalan di belakang tamu kehormatan, ikut mengantar menemui tuan rumah; sang majikan. Dia melihat sekeliling, selanjutnya berjalan meninggalkan tamu kehormatan yang sibuk dengan ramah tamah palsu, menuju pojok dermaga dekat buritan.

“Selamat malam Pak Roni, Pak Rudi” sapanya ramah.

“Met malam Pak Kis.” Jawab kami hampir berbarengan, berdiri sambil mengulurkan tangan bersalaman.

“Lho, kok pada bujangan?” Tanya Pak Kis yang melihat kami hadir tanpa istri atau anak-anak.

“Istri dan anak Saya sedang pulang ke Surabaya, menjenguk neneknya yang sedang sakit” jawab Pak Roni.

“Iya Pak Kis, istri Saya juga tidak bisa hadir karena harus menunggui bayi kami yang kurang sehat” Jawabku. “Tapi Saya sudah meninggalkan nomer telponnya Pak Roni ini, kalau-kalau istri Saya tidak dapat menghubungi handphone saya”.

“Ahh.. Keluarga bahagia dimana saja, mirip satu sama lain; keluarga yang tidak bahagia memilik ketidakbahagiaan mereka berbeda-beda.” Tiba-tiba Kami rasakan komentar Pak Kis seperti keluhan.

“Memangnya ada apa Pak Kis?” Tanya Pak Roni.

“Iya, kok kelihatannya capek sekali Pak Kis? Susulku.

Kisworo menarik kursi di dekatnya, kemudian duduk sambil meletakkan sebuah surat kabar di meja. Aku dan Pak Roni ikut duduk.

Kisworo mulai bercerita panjang tentang kegiatannya belakangan ini, keluhannya tentang dirinya yang menjadi manusia mati lantaran budi. Tentang jasa baik majikannya yang telah mengangkat orang tuanya dari kejatuhan. Kami terenyuh mendengarnya bercerita tentang majikannya yang juga adalah Boss Besar kami. Bahwa kalau tidak karena hutang budi, tak kan mau Ia bekerja sebagai tangan kanan seorang koruptor kakap.

“Boss kita bukanlah kelas teri yang bermain dengan uang tip, angpao, administrasi, uang diam, pelicin, uang rokok, uang damai atau segala macam korupsi kelas sampah.” Geram Pak Kis.

“Mainannya adalah Pajak, manipulasi tanah, Mark-up anggaran, proses tender dan penyelewengan besar lainnya” dengan setengah berbisik. Hal ini membuat Kami tak lagi menghiraukan acara yang nampaknya seru dengan teriakan-teriakan kebahagiaan semu peserta acara.

“Hati-hati lho Pak Kis!” Potong Pak Roni.

“Iya Pak, jangan bicara sembarangan.” Kataku bermaksud untuk tidak berbicara dengan sembarang orang.

“Saya tahu itu, makanya Saya bicara dengan kalian, orang-orang yang selalu dibicarakan keburukkannya oleh Boss Besar karena pikiran skeptis kalian.” Pak Kis bicara, sementara tangannya mengambil surat kabar yang tadi diletakkan di meja.

“Kalian sudah baca ini?” Pak Kis menunjukkan di halaman depan pada kolom bawah kanan, sebuah tulisan berjudul “Pengawal anak pejabat, nyaris menembak pengunjung diskotik”.

“Saya yakin, kalian tahu berita sebenarnya.”
Pak Kis benar, Kami memang tahu hal itu dari berita yang beredar di kalangan karyawan.

“Hebat bukan?” pertanyaannya mirip pernyataan.

“Dengan uang, Boss kita bisa membeli semuanya. Bukan hanya maskapai penerbangan, pesawat pribadi, kapal pesiar seperti ini,” jarinya menunjuk yacht di sebelah kami “rumah mewah, mobil mewah, yang Saya sendiri tidak tahu berapa jumlahnya.” Mata Pak Kis nanar, melirik sekilas pada Boss Besar yang sedang tertawa di atas panggung.

“Tapi Boss dapat menjadikan dirinya orang yang tidak dapat disentuh hukum. Dengan uang hasil korupsi, Ia bisa melakukan apa saja!” Pak Kis berhenti sejenak, mengambil gelas berisi air putih di atas meja, menenggak habis, kemudian melanjutkan.

“Jaman Soeharto, para pejabat birokrat menerima upeti dengan memelihara kestabilan para pengusaha besar, lalu anak-anak atau saudara si pejabat, menjadi kroni pengusaha. Kini setelah reformasi, korupsi tidak lagi terbatas oleh kroni penguasa, malah sudah merata ke semua lembaga pemerintah dan sektor swasta, ke seluruh masyarakat dan makin individual.” Pak Kis menatap kami.

“Artinya, tidak ada lagi garis hierarki, petunjuk atasan atau restu lembaga, tapi semua orang sudah bisa berinisiatif sendiri, bertindak atas nama sendiri, melakukan korupsi, demi kemakmuran katanya; menggelembungkan perut sendiri.”

“Parahnya, dengan uang itu mereka menjadi tak tersentuh oleh tangan hukum, karena lembaga yudikatif juga melakukan praktek yang sama.” Pak Kis berhenti bicara, ada kebencian dan ketidakberdayaan di dirinya.

“Maaf Pak Kis, Kami sependapat dengan semua ucapan Pak Kis. Tapi bukankah kalau tiada bedil di pinggang, lebih baik kita berpedang lapang?” Ucapku untuk bersabar, karena Kami tak memiliki kemampuan.

Pak Roni menambahkan: “Benar Pak, jangankan Kita yang hanya karyawan. Lha wong pemerintah sejak jaman Bung Karno sudah pernah mendirikan badan pemberantasan korupsi dengan mendirikan KOTRAR (Komando Tertinggi Retooling Aparatur Negara), Soeharto membentuk BPKP (Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan) dan hanya menghasilkan tayangan di TVRI; wajah-wajah koruptor kelas ringan.” Aku melihat sedikit perubahan pada wajah Pak Kis; mungkin teringat akan orangtuanya yang ikut menjadi bintang dalam tayangan tersebut.

“Hingga saat ini-pun pemberantasan korupsi hanya jadi ikon yang memiliki nilai jual bagi calon atau pemerintahan yang baru. Lantas apa yang harus dilakukan? Peningkatan individu dan kesejahteraan masyarakat dengan memperbanyak pelatihan dan pengajaran? Atau dengan penangkal moral? Saya pikir itu semua sudah tidak relevan lagi, karena moral hanya menyangkut rasa malu yang notabene sudah tidak dimiliki para pejabat kita. Atau agama? Agama hanya pertanggungjawaban di hari kemudian. Saat ini orang perlu makan, menyekolahkan anak, kenyamanan hidup. Bagaimana pula jika korupsi memang sebuah metode dan cara untuk mencari uang dengan gampang?” Kuberondong Ia dengan pertanyaan berpondasi skeptis.

“Ada usul lain yang masuk akal.” Katanya.

“Kita buat pesta makan dengan membakar beberapa ikan besar. Ini Kita perlukan sebagai tanda bahwa tidak ada ‘impunity’. Tidak ada lagi orang yang bisa bebas dari hukuman karena korupsi. Sebagai Shock Therapy, kejutan yang benar-benar kejutan, bukan lagi sementara, namun berkelanjutan” Jawabnya mantap.

Mungkin Pak Kisworo benar. Satu yang jadi pertanyaan: Siapa “Kita” ini? Ya, Kita ini siapa?

Lalu kuingat pepatah China: “Jika seseorang menjadi raja, anjingnya-pun ikut ke surga”.
---

Jakarta, 04 November 2007
Mugi Subagyo

0 Comments:

Post a Comment

<< Home


Islamic Calendar Widgets by Alhabib
Free Hijri Date

Kecantikan seseorang harus dilihat dari matanya, karena itulah pintu hatinya - tempat dimana cinta itu ada.