<body><script type="text/javascript"> function setAttributeOnload(object, attribute, val) { if(window.addEventListener) { window.addEventListener('load', function(){ object[attribute] = val; }, false); } else { window.attachEvent('onload', function(){ object[attribute] = val; }); } } </script> <div id="navbar-iframe-container"></div> <script type="text/javascript" src="https://apis.google.com/js/platform.js"></script> <script type="text/javascript"> gapi.load("gapi.iframes:gapi.iframes.style.bubble", function() { if (gapi.iframes && gapi.iframes.getContext) { gapi.iframes.getContext().openChild({ url: 'https://www.blogger.com/navbar.g?targetBlogID\x3d6581471201873128981\x26blogName\x3dCerpen+-+nya+Mugi\x26publishMode\x3dPUBLISH_MODE_BLOGSPOT\x26navbarType\x3dBLUE\x26layoutType\x3dCLASSIC\x26searchRoot\x3dhttps://mugi-cerpen.blogspot.com/search\x26blogLocale\x3den_US\x26v\x3d2\x26homepageUrl\x3dhttp://mugi-cerpen.blogspot.com/\x26vt\x3d-8510118826213891906', where: document.getElementById("navbar-iframe-container"), id: "navbar-iframe", messageHandlersFilter: gapi.iframes.CROSS_ORIGIN_IFRAMES_FILTER, messageHandlers: { 'blogger-ping': function() {} } }); } }); </script>

07 October 2008


TELAGA PARA PEMIMPI

By: Alika Syafira Indreswari
SDN 02 Menteng, Jl. Tegal No. 10


Bayu adalah seorang remaja yang belum lama ditinggal mati kedua orangtuanya. Dia mencari nafkah dengan menyumbangkan tenaganya untuk siapa saja yang membutuhkan. Pernah Bayu memandikan kuda, kerbau, membersihkan kandang, mengangkat dan membawakan barang belanjaan orang-orang di pasar untuk diangkat dengan gerobak delman, dan banyak lagi usahanya demi sesuap nasi penyambung hidup. Kedua orangtuanya tiada mewarisi apa-apa, sehingga Bayu hanya berjalan tanpa arah, dari desa satu ke desa lainnya.

Dalam pengembaraannya, dia sampai pada sebuah desa yang aneh, dimana anak-anak mudanya banyak yang terlihat duduk melamun bermalas-malasan, padahal orang-orang tuanya Nampak melakukan banyak pekerjaan. Anak muda yang diperhatikannya sedang asik melamun dan sesekali tersenyum sendiri. Hal ini membuatnya bergidik ngeri.

“Ah, nama desa Sugih Waras ini sungguh tidak sesuai dengan penduduknya.” Gumam Bayu setelah meninggalkan seorang bapak yang baru saja ditanyai tentang nama desa tersebut.

“Lebih baik aku melanjutkan perjalanan menuju desa lain yang ada di seberang hutan itu, mumpung hari masih siang begini” Niatnya mantap sambil menatap hutan yang berada di sisi timur desa Sugih waras.

Di tepi desa di pinggir hutan, Bayu masih saja menemui anak-anak muda seusianya yang melamun dan tertawa-tawa sendiri. Bayu terus melangkahkan kakinya memasuki hutan yang nampaknya tidak terlalu luas itu.

Setelah menempuh perjalanan setengah dari luasnya hutan, Bayu melihat sebuah telaga yang airnya jernih dan dikelilingi pohon-pohon besar yang berdaun lebat. Pada sisi kiri telaga ada sebuah bukit kecil yang menyerupai dinding batu. Dari tengah dinding batu tersebut, mengalir air yang menyerupai mata air. Setelah puas mengamati sekeliling telaga dari jauh, Bayu memutuskan untuk membersihkan tubuhnya dengan berendam dalam air telaga.

Bayu berenang kesana kemari dengan senang hati sambil menikmati keindahan bunga-bunga di tepi telaga. Pikirannya menerawang ke masa lalu, saat kedua orang tuanya masih ada, mereka pernah mengajak dan megajari Bayu berenang di sungai yang ada di belakang gudang tua rumah majikan kedua orangtuanya. Hati Bayu gundah, dia mengaharapkan lagi kehadiran orangtuanya untuk merasakan kebahagiaan bersama.

Tiba-tiba Bayu mendengar suara seperti orang sedang bercakap di belakangnya. Bayu membalikkan badannya ke arah pohon pinus tempat dia meletakkan pakaiannya. Awalnya Bayu tidak yakin saat melihat dua orang yang nampaknya sedang mengumpulkan kayu bakar yang banyak berserakan di dekat pohon-pohon pinus. Namun setelah diamati dengan seksama, sontak Bayu berenang ke pinggir secepat-cepatnya sambil berteriak.

“Ayahhhhh..!! Ibuuu..!! Ini Bayuuu..”

Kerinduan pada kedua orangtuanya membuat Bayu berlari seperti orang gila saat berada di tempat dangkal pinggiran telaga. Begitu mencapai daratan, Bayu langsung menuju kedua orang tuanya. Bayu bingung bercampur heran, kemana perginya ayah dan ibunya. Mengapa tiba-tiba mereka menghilang seperti ditelan bumi dan hanya meninggalkan tumpukan ranting-ranting kecil kayu bakar.

Diambilnya sebatang kayu yang paling besar, dipeluknya kayu tersebut, dan Bayu menangis.

Bayu terus menangis, hingga tidak disadari olehnya datang seorang yang sudah sangat tua berjalan tertatih-tatih mendekatinya.

“Anak muda, mengapa engkau menangis, dan mengapa pula kau memeluk kayu tersebut?”

Bayu kaget, ditatapnya pak tua tersebut dari atas sampai kaki. “Hmm, pak tua ini pasti manusia, karena kedua kakinya menginjak bumi.” Gumam Bayu dalam hati, namun tak juga dia menjawab dan masih saja menangis.

“Apa yang kau tangisi anak muda? Itu hanya kayu bakar yang banyak kau temui di sepanjang hutan ini.” Tanya pak tua tadi yang sudah duduk di samping Bayu.

Setelah beberapa kali ditanya, barulah Bayu memberikan jawaban "Maaf Kek, tapi baru saja saya melihat kedua orangtua saya di tepi telaga ini, namun ketika saya berlari mengejar mereka, tiba-tiba saja mereka menghilang. Kalau ini semua cuma mimpi, mengapa kayu bakar ini yang tadi dipegang orang tua saya, masih ada." cerita Bayu masih dilumuri kesedihan.

Namun sang Kakek langsung menggamit tangan Bayu dan mengajaknya ikut ke tempat tinggal yang tak jauh dari telaga. Sementara Bayu hanya bisa pasrah bagai kerbau dicucuk hidungnya langsung mengikuti ajakan kakek tersebut.

Selama dalam perjalanan, Bayu merasa aneh, mengapa Ia mau saja mengikuti ajakan kakek sedangkan dalam pikirannya masih tersimpan banyak pertanyaan atas peristiwa yang baru saja ia alami.

Tidak berapa lama sampailah mereka di pinggir sungai kecil berair jernih yang dapat memperlihatkan batu-batu beraneka warna di dasarnya. Sedang asiknya Bayu memperhatikan batu-batu tersebut, sampai-sampai ia tak sadar ketika kakek yang menuntunnya berhenti sambil melepaskan pegangan tangannya.

"Masuklah dulu Nak.! Nanti akan kakek terangkan sejelas-jelasnya tentang apa yang baru engkau alami."

Tanpa diminta kedua kali, Bayu masuk ke dalam pondok bambu yang meskipun kecil, namun memiliki sebuah dipan cukup besar di dalamnya dan langsung merebahkan diri dengan menyilangkan kedua tangan menutupi dahinya. Sementara dari mulut sang kakek terdengar senandung yang lamat-lamat namun menggores kalbu, menghantarkan kepiluan mendalam.

"Jangan kau terus hanyut Nak! Tidak satupun di dunia ini yang dapat mengembalikan masa lalu. Jadi sekarang bangunlah! Kakek akan mulai ceritanya."

Bayu bangun dengan malas, dilihatnya sang kakek sudah pula duduk di sampingnya sambil menggeser tubuhnya untuk bersandar pada dinding bambu.

"Ini sebuah kisah sangat lama yang pernah kakek dengar saat kecil, dan kebenaran cerita ini tidak dapat dibuktikan karena tidak satupun tersisa peninggalan yang dapat membuktikannya, kecuali reruntuhan bangunan di atas bukit sana" tangan kakek menunjuk ke arah bukit kecil yang menyerupai bentuk kepala dan tubuh seekor gajah.

"Syahdan di atas bukit itu pernah berdiri sebuah kerajaan kecil yang dipimpin seorang raja. Sang raja hanya memiliki seorang istri yang telah wafat saat putrinya masih berumur belasan. Meskipun putrinya sangat cantik, namun kepergian ibunya membuat luka tersendiri dalam hatinya yang selalu dirundung duka, sehingga kecantikan sang putri tersaput kepucatan. Sang raja tidak dapat berbuat banyak untuk membantu putrinya menemukan keceriaan." Bayu memperhatikan wajah kakek yang nampak murung saat bercerita.

bersambung...

Lanjutan..!

27 December 2007


KARUNIA

Niken,
Jika memang ada cinta sejati, maka ia adalah cinta yang terdiri dari dua orang saja dan tak ada tempat buat orang ketiga.

Pernah memang kugenggam sangat erat, tapi cinta itu mati.
Kini kugenggam longgar, cintamu menjauhi.

Niken,
Jika keutamaan dari cinta adalah pengorbanan, mengapa;
Aku haturkan bunga padamu,
tapi kau bilang masih
Aku persembahkan resahku padamu,
tapi kau bilang hanya
Aku berikan darahku padamu,
tapi kau bilang cuma
Aku bawakan mimpiku padamu,
tapi kau bilang meski
Aku kirimkan dukaku padamu,
tapi kau bilang tapi
Aku serahkan mayatku padamu,
tapi kau bilang hampir
Aku pasrahkan arwahku padamu,
tapi kau bilang kalau
Tanpa apa Aku datang padamu?

Niken,
Jika kaugeser tempatku karena asmara dan bukan oleh bara cemburu,
semoga ia memberikan kidung lembut. Semoga asmara menebarkan aroma seribu bunga, semoga ia merona indah.

Sementara, biarkan Aku sepanjang masa
Berlutut di atas hamparan duka.

Niken,
Sungguh cinta sekejam kematian dan cemburu sekejam kuburan.

Dari yang pernah di dekatmu…

---

“Apakah Kamu menyalahkan Aku atas peristiwa ini?” Tanya Lia padaku, saat mengembalikan surat yang kuperlihatkan padanya. Setelah lebih dari sebulan, suratku kembali dengan tambahan dua buah garis besar yang bersilang.

“Awalnya iya!” Jawabku. “Tapi kini Aku tidak tahu lagi. Aku tidak tahu siapa yang salah, tidak tahu apa yang harus kuperbuat, bahkan tidak tahu lagi apa yang kupikirkan.”

“Kamu tidak menggunakan pikiran sudah sejak lama, yang kutahu sejak kaukenal Niken, pikiranmu hanya berputar pada mimpi.” Ucap Lia dengan bersungut.

“Lho? Kenapa sekarang jadi Kamu yang menyalahkan Aku?” Aku tersinggung. “Kan Kamu yang mengusulkan kita cari hadiah di Mal tersebut? Kamu yang mengusulkan Kita cari perlengkapan kosmetik buat Niken. Kemudian Niken melihat kita jalan bergandengan.” Balik kuserang Lia dengan kenyataan.

“Iya, memang betul itu semua Aku yang mengusulkan, tapi apa Kamu tahu mengapa Aku menyarankan membeli kosmetik?” Tanya Lia yang sepertinya tidak juga paham, bahwa saat ini aku malas berpikir.

“Mana Aku tahu? Pokoknya Kamu yang mengusulkan itu!” Jawabku kesal.

“Dan itu salah satu contoh Kamu tidak bisa lagi berpikir.” Ucap Lia enteng. “Apakah Kamu juga tahu mengapa wanita lebih suka tampil cantik daripada tampil cerdas?” Kembali Lia bertanya. “Karena laki-laki lebih suka melihat wanita yang cantik daripada wanita yang cerdas!” Lanjut Lia tanpa menunggu jawabanku. “Jadi, laki-lakilah yang membentuk wanita-wanita kebanyakan, hanya ingin cantik, seksi, menggemaskan dan menggairahkan.”

“Tapi Niken tidak begitu, dan Aku juga bukan laki-laki seperti itu!” Bantahku.

“Itu katamu! Tapi tidak tidak menurut orang lain. Apa Kamu buta, tidak bisa melihat dan mendengar nasihat baik dari teman-teman sekelas? Mereka lebih dulu kenal Niken dan mereka tahu gaya hidup Niken seperti apa. Sementara Kamu yang baru kenal sesaat sudah langsung jatuh cinta, bahkan bangga bisa kencan dengannya.”

Memang teman-teman kuliah sudah banyak menasihati dan mencoba memberitahu soal Niken yang senang berganti teman kencan. Sebagai mahasiswa pindahan yang langsung ikut di semester ketiga, Aku sudah memiliki banyak teman yang sebagian adalah teman-temanku di SMA dulu, termasuk Lia.

“Tapi Niken marah dan memutuskan hubungan denganku karena cemburu, bukan karena itu!” Jawabku ragu.

“Itu alasan!”
“Dia sudah tahu tentang Kita sebelum Kamu pindah ke kampus ini, dan Dia juga tahu semua tentangmu, kecuali tentang Mira.”

“Lho, kenapa Kamu sebut-sebut tentang Mira? Apa Kamu cerita padanya tentang hubunganku dengan Niken?” Ada sedikit kecemasan di hatiku.

“Buat apa Aku cerita tentangmu. Itu hanya akan menyakiti hatinya. Meski Aku tahu Mira tetap akan memaafkanmu seperti yang sudah-sudah.” Jawab Lia yang melegakan hatiku, sekaligus menyesakkan. Aku termenung sesaat mengingat Mira. Lima bulan sudah, aku tidak berkunjung ke rumahnya dengan alasan sibuk mempersiapkan ujian.

“Ah..! Mengapa Aku jadi begitu bodoh?” batinku. Kemudian terlintas di benakku, Mira yang penuh kelembutan, pengertian dan kasih sayang seperti ibuku sendiri. Hal ini rupanya yang membuatku bosan, tidak ada letupan, tidak ada tantangan, hanya ketenangan dan ketentraman. Tapi apa yang sesungguhnya kucari?

Aku dengar Lia masih terus bicara, entah apa yang dikatakannya padaku. Aku hanya menyaksikan Niken lewat di depanku, duduk di sisi kiri depan dalam sedan biru mengkilat. Di atas pagar besi jembatan penghubung kampus dengan jalan raya, aku duduk masih terus mendengarkan omongan Lia.

“Hei! Kamu masih sadar?” bentak Lia. Ah Kamu Lia, ternyata kamu juga cantik meski berpostur kecil. Kemudian pandanganku berkeliling ke kanan-kiri, Ada ibu dosen fisika yang cantik, Mbak Lela pelayan kantin juga cantik, kakak kelas, adik kelas semua terlihat cantik. Ya Tuhan, mengapa karunia kecantikan Engkau berikan kepada banyak wanita?

“Hei!” Kembali Lia membentak sambil menepuk bahu yang hampir membuatku jatuh terjengkang ke belakang. “Sekarang Kamu mulai seperti orang gila, senyum dan geleng-geleng kepala seperti orang bingung.”

“Kamu yang gila! Hampir saja Aku tercebur di sungai ini.” Aku mengomel dengan masih berpegang pada tonggak beton penyangga besi, yang justru membuat Lia tertawa. Sepertinya dia akan terus tertawa kalau aku tidak segera berdiri turun dari dudukku di atas besi jembatan.

“Ya sudah yuk Kita pulang! Kamu mau pulang atau ke tempat kost?” Tanya Lia.

“Belum tahu nih.” Jawabku seraya mengeluarkan handphone dari dalam tas ransel.

“Oke deh.. Aku Cuma mengingatkan: Mungkin Tuhan menginginkan Kamu bertemu dengan beberapa orang yang salah sebelum bertemu dengan orang yang tepat, Kamu harus mengerti bagaimana berterima kasih atas karunia itu.” Ucap Lia sambil matanya memperhatikanku memencet tombol handphone.

“Kirim sms buat siapa?” Tanyanya curiga.

“Buat Niken.”

Langsung saja wajah Lia cemberut, kemudian berlalu pergi tak lagi menghiraukan aku.

Niken, terima kasih atas pelajaran darimu, juga terima kasih kamu kembalikan suratku. (Semoga belum kamu fotokopi).

Setelah sms kukirimkan, aku berlari mengejar Lia. Baru setengah perjalanan menuju Lia, handphoneku berdering. “Hm.. tumben Niken balas smsku?”

Ternyata dari Mira.

Semoga kamu mendapatkan kebahagiaan yang cukup untuk membuatmu baik hati, cobaan yang cukup untuk membuatmu kuat, kesedihan yang cukup untuk membuatmu manusiawi, pengharapan yang cukup untuk membuatmu bahagia dan uang yang cukup untuk membeli segala keperluanmu. Penuh cinta selalu -Mira-

Sekarang aku tahu kemana tujuanku.

Jakarta, 24 Desember 2007
Mugi Subagyo

Lanjutan..!

12 December 2007


PAHLAWAN

Namanya Pak Soleh. Mungkin karena postur tubuhnya yang luas, hasil perkalian dari panjang dengan lebar, Ia mendapat sebutan “Torren”, yaitu nama benda yang digunakan sebagai tempat penampungan air di atas rumah, jadi panggil saja Ia dengan Pak Torren. Dia tinggal di sebuah kota yang gila; tempat korupsi jadi keutamaan mencapai kemakmuran.

Pak Torren benci pegawai negeri, yang berkantor di ruangan berkursi kayu dan rotan yang sudah kusam, meja kayu yang dipenuhi bekas api rokok. Di atas lemari besi panjang yang dinamakan “filling cabinet” itu berderet map kertas dalam “box file” yang tidak jelas apa fungsinya.

Ia benci pekerjaan itu, dan dengan perasaan yang dirundung kebencian, disenandungkan pertanyaan pada Tuhan yang menarik garis takdirnya justru ke pekerjaan itu; menjadi pegawai negeri, di seksi kependudukan.

Pukul satu siang, kesempatan untuk melepas unek-unek di kepalanya datang. Mereka makan siang di kantin belakang kantor walikota. Dan setelah berbasa-basi, mulai disampaikannya pandangan masyarakat yang meremehkan pegawai negeri.

“Apa salahnya pegawai negeri? Kalau-pun digambarkan sebagai sebuah jabatan yang hanya dipenuhi pengabdian dengan secuil kesejahteraan, bukankah justru pandangan ini keliru? Pegawai negeri bukanlah orang-orang yang lemah, bukan orang-orang sepele yang patut diremehkan. Pegawai negeri yang menentukan status kependudukan, status rumah seseorang, menentukan pajak, ijin usaha para pengusaha, surat keterangan berkelakuan baik, surat sengketa tanah, surat nikah atau talak, nasib sekolah anak-anak. Jadi Kita tak bisa diremehkan, kalau-pun ada, Mereka dapat Kita anggap sebagai orang yang kurang menyadari diri.” Sebuah jawaban didapat dari Pak Walikota, saat Ia tanyakan pendapatnya berkenaan dengan opini yang berkembang di masyarakat.

“Memang sebagai pegawai negeri, Kita terikat birokrasi.” Lanjut Pak Walikota.

“Tapi ini adalah suatu keniscayaan, bahwa tak ada seorang-pun mampu mengelakkannya. Bukankah sudah banyak usaha untuk menyingkirkannya, namun hasilnya adalah sebuah lelucon. Lantas siapa yang salah? Pegawai Negeri? Birokrasi? Atau orang-orang yang ingin menghapus birokrasi?” Jawabannya kali ini dirasakan sangat memojokkannya. Entah apa Ia yakin dengan jawaban ini.

“Tapi Pak, Saya pikir ada baiknya jika kita mau berhenti sesaat guna mendengarkan keinginan masyarakat kita.” Pak Torren menyampaikan pendapatnya dengan pikiran menerawang pada banyak kejadian tidak adil yang telah terjadi.

“Mereka bilang bahwa birokrasi adalah sumber kekakuan, kemacetan segala urusan, jadi, apa tidak sebaiknya Kita telaah kembali aturan yang ada untuk diperbaiki?” bujuknya.

“Jangan berpikir! Jangan gunakan perasaan! Taati saja peraturan yang ada, maka Kamu senantiasa benar dan sudah pasti selamat.”

“Ahh.. ini jawaban atau sebuah doktrin” pikir Pak Torren.
Tidak-kah Ia merasa seperti yang kurasakan? Perlakuan terhadap masyarakat yang tidak mampu, mulai dari penggusuran kios-kios kecil di sepanjang jalan, pungutan liar bila ada orang yang ingin mengurus ijin atau surat-surat. Padahal dari pedagang kaki lima itu, kita tarik setoran bertitel retribusi. Dan masyarakat, kita bebani kewajiban untuk memberikan data diri juga ijin untuk melakukan banyak hal. Bukankah mereka yang justru menggerakkan roda ekonomi, dan sebagai catatan: Mereka tidak memperoleh pekerjaan itu dari Kita, dari Birokrasi atau dari pemerintah, yang selalu berkampanye untuk mengurangi pengangguran.

Ya! Mereka bangkit dan berdiri dengan kaki sendiri, dan Kita tinggal memerasnya dengan berbagai peraturan. Tidak-kah Ia sadari bahwa adat dunia balas membalas? Apakah tenang hatinya setelah mendapat uang banyak hasil manipulasi yang dilakukan dengan bantuanku selama ini? Dana pemerintah, dana bantuan banjir, dana pendidikan, dan banyak lagi dana bantuan telah sukses dilencengkan.

Semua pertanyaan itu tinggal menjadi pertanyaan, karena Pak Walikota memberi isyarat tangan menyudahi pembicaraan sambil berlalu. Tinggal Pak Torren termangu dengan kegundahan, hingga air diminum rasa duri, nasi dimakan rasa sekam.

Lantas, apa sikapku sekarang? Menerima dan menjalankan doktrin itu? Rasanya seperti membasuh muka dengan air liur.

Jika tidak, apa Aku harus meninggalkan pekerjaan yang telah sepuluh tahun kujalani? Yang juga telah memberikan sebuah rumah berukuran 5x10 meter persegi dengan dua lantai. Sebuah rumah yang kubangun dari kumpulan amplop pemberian dari pimpinan. Otaknya tumpul, banyak ucapan berebut bicara dalam bathin bagai angin berputar dan ombak bersabung; tak jelas.

Jam tiga siang; seperti biasa Ia benahi meja kerja, kemudian pulang.

Tiga hari sebelumnya, Pak Torren bukanlah orang yang penuh pertimbangan antara akal dan perasaan. Dia adalah satu contoh dari tipikal masyarakat di negrinya, hanya saja, Ia selalu mengerjakan dengan baik segala tugas yang diembannya, dan kesetiaan pada pimpinan yang membuatnya memperoleh kepercayaan. Baginya, sekali beban terpasang di bahu, maka Ia junjung di kepala.

Hari itu, Jumat siang jam sebelas lewat. Kantornya kedatangan seseorang yang terkesan “penting”. Setelah berbicara beberapa saat di ruang kerja pimpinan, orang tersebut keluar dan berpapasan langsung dengannya. Sambil tersenyum Ia bertanya: “Maaf Pak, Dimana letak Mesjid terdekat ya?”

“Oh, Bapak keluar, lalu belok kiri, tidak jauh kemudian ada Mesjid, letaknya di sisi kanan jalan, Bapak tinggal menyeberang” Jawab Pak Torren seraya menunjuk dengan ibu jarinya.

“Oh, begitu. Terima kasih Pak” Orang Penting tersebut tersenyum, sekilas Ia perhatikan meja kerja Pak Torren yang dipenuhi arsip juga dokumen yang sepertinya dalam tahap sedang dikerjakan. Diiihatnya dokumen tersebut sebagian besar adalah proposal dari perusahaan, pesantren atau pengurus mesjid. Kemudian dengan agak lambat Ia dekati Pak Torren penuh kehati-hatian, diajukannya pertanyaan dengan lembut: “Bapak mau Jumatan bareng dengan Saya?”

“Maaf, Saya masih sibuk, Saya tidak punya waktu” Tanpa menoleh Pak Torren melanjutkan pekerjaannya. Mungkin ingin menunjukkan ke orang lain, bahwa pegawai negri bukanlah pengangguran terselubung seperti pendapat orang kebanyakan.

“Wah! Hati-hati lho Pak!” masih dengan senyum, Orang Penting ini mengingatkan.

“Maksud Bapak?” Tanya Pak Torren dengan nada bingung dan sedikit tersinggung.

“Oh Tidak, Saya tak bermaksud apa-apa, hanya mengingatkan bahwa sebaiknya Kita senantiasa berhati-hati dalam ucapan, karena bila Tuhan menjawab pinta Kita, dan memberikan Kita waktu yang lebih banyak, bukankah Kita malah jadi susah?” Orang ini menjawab dengan tebu yang ditanam di bibir; manis sekali.

“Waktu yang banyak, bisa berarti kita kehilangan banyak, mungkin kehilangan istri dan anak atau keluarga, kehilangan pekerjaan, kehilangan harta. Atau meski itu semua tidak Kita miliki, bisa saja kita kehilangan kesehatan. Bukankah dengan itu semua Kita akan memiliki waktu lebih banyak?” Keduanya sunyi sejenak.

“Ya sudah Pak, maaf kalau ucapan Saya tidak berkenan di hati Bapak.” Sambil membungkukkan badan “Saya hanya sekedar mengingatkan sebagai sesama saudara, agar Kita senantiasa menjadi orang yang mawas diri tanpa perlu dipaksa oleh Tuhan” Masih dengan senyum “Saya permisi ya Pak!” Dan Ia pun melangkah menuju ke anak tangga, meninggalkan Pak Torren dengan gedoran keras di pintu hatinya. Pak Torren tidak lagi mempertanyakan siapa gerangan bapak tadi, juga maksud kedatangan di kantornya, karena nanti pasti Pak Walikota akan menyampaikan perihal orang tersebut. Namun gedoran itu mampu membuka pintu hati yang selama ini macet oleh karat.

Sudah tiga bulan lebih, Pak Torren aktif berorganisasi di luar kegiatan kantor. Bersama organisasi pemuda dan masyarakat, Ia turut mendukung aksi yang menuntut pemerintahan yang baik di instansinya. Awalnya banyak orang ragu akan perubahan sikap ini, namun kelamaan Mereka percaya. Bukan hanya masyarakat yang senang dengan perubahan ini, anak dan istrinya-pun mendukung, karena selama ini Mereka dikucilkan tetangga karena dianggap sebagai istri dan anak-anak yang dibesarkan dari hasil korupsi.

Namun tidak semua orang suka melihat perubahan ini. Pak Walikota sering menegurnya berkali-kali bahkan mengancam. Hingga Sabtu pagi rumah Pak Torren dan beberapa rumah di sekitarnya terbakar. Mungkin si pelaku ingin memberikan penerangan agar dipahami Pak Torren. Sayangnya teguran ini tidak berhasil. Maklum, api bisa membakar banyak, tapi menerangi hanya sebentar.

Meski Pak Torren meyakini satu hal, bahwa tak ada jalan yang pasti untuk menang, namun ada jalan yang pasti untuk tidak kalah, yaitu jangan bertanding. Pak Torren memilih bertanding, dengan hasil tubuh penuh luka bakar saat berusaha menyelamatkan anaknya yang masih kecil di lantai atas, ketika kebakaran terjadi. Keluarganya selamat.

Di rumah sakit, kunjungan orang penting yang pernah menasihatinya, sanggup membuat ceria. Orang tersebut, Pak Sungkono dari Badan Pemberantasan Korupsi. Dia menerima tumpukan dokumen dari anak Pak Torren. Dengan data ini, jatuh hukuman kurungan tiga tahun lamanya untuk Pak Walikota, hanya Sang Walikota. Tidak ada lapisan diatasnya yang ikut menginap di bui. Pak Walikota pasang badan sendirian, gagah berani. Hukuman orang seperti ini, biasanya akan banyak mendapat remisi, potong masa tahanan; bantuan dari “orang atas” yang telah menganggapnya pahlawan penyelamat muka. Sayangnya Pak Torren tidak bertahan lama untuk melihat hasil perjuangannya, entah karena luka bakar yang diderita atau memang Tuhan ingin segera menemuinya untuk sesuatu yang abadi yang bakal diterima; Pak Torren mangkat sebagai pahlawan.

Anak-anak dan istri Pak Torren menginap sementara di rumahku yang terletak tidak jauh dari lokasi kebakaran, sebelum akhirnya mereka kembali ke kampungnya, di Purwokerto.

Aku tidak begitu mengenal Pak Torren serta tindak-tanduknya. Aku hanya mengenal anaknya yang sebaya denganku, tapi dari bapak-ku kisah ini diceritakan. Entah apa saja yang pernah diceritakan Pak Torren pada bapak-ku yang hanya seorang guru mengaji. Tapi satu hal yang kuingat saat di pemakaman. Tak satu-pun dari ketiga anaknya yang menangis tersedu-sedan, hanya wajah yang terlihat sedih dengan ucapan bangga: “Bapak, Kami bangga punya bapak sepertimu”. Dan istrinya bergumam lirih: “Suamiku, Engkau-lah pahlawanku”.

Sementara Aku hanya tahu: Di negriku, untuk menjadi pahlawan, orang harus mati!
---
Jakarta, 04 November 2007
Mugi Subagyo

Lanjutan..!

IMPUNITY

Suara letusan pistol Glock 17 berkaliber 9x19mm yang memuntahkan peluru, menciptakan lubang gosong di pojok langit-langit ruangan. Pengunjung panik, sebagian berlari, yang lain beringsut perlahan dengan mata terus mengawasi pada orang-orang di pojok meja sisi utara, dekat pintu masuk. Perlahan atau tergesa, yang pasti mereka berusaha menjauhi pertikaian yang sedang terjadi, keluar untuk kemudian mencari tempat hingar-bingar lain.
Pemicu kembali ditarik dengan arah lurus pada kening.

“Clak!”

Calon korban beruntung; senjata jenis ini memiliki pengaman otomatis yang tiap kali ditembakkan akan langsung mengunci pemicunya. Satu hal yang terlupa oleh Pelaku, akibat amarah yang menguasainya. Ini memberikan kesempatan pada seseorang di dekat korban untuk menubruk pelaku, berguling, saling hantam.

Pelaku penembakan tidak sendirian. Ada dua orang pengawal menyertai, Dia menarik paksa si penyerang yang berusaha merebut senjata, dan seorang lagi menarik orang yang dilindunginya sambil menepak pistolnya. Sementara orang yang nyaris lepas nyawanya, masih terkesiap tak mampu bertindak. Temannya yang berusaha merampas senjata dengan menubruk pelaku penembakan, terjajar dalam posisi kaki ditekuk sambil memegang perutnya yang serasa diaduk akibat tendangan yang mendarat, sesaat setelah dirinya terbetot ke belakang.

“Banjo! Lepasin Gue! Biar Gue matiin sekalian tuh monyet sialan” Raung pelaku penembakan.

“Jangan Bos! Inget Bos, Kita di sini buat seneng-seneng, bukan cari perkara.” Bujuk Banjo, pengawalnya.

“Iya Bos, Mending Kita cepet-cepet pergi dari sini.” Ucap seorang lagi, setelah dengan cekatan memungut pistol yang sempat terjatuh saat direbut paksa oleh Banjo.

“Elu yang Bajingan! Beraninya pakai senjata.” Kini calon korban yang berteriak, rupanya Ia sudah bisa menguasai kekagetannya dan kembali menantang.

“Diam Luh!” Bentak Okta, si pengawal, sambil mengacungkan pistol yang kini di tangannya.

Mungkin kekacauan itu akan terus berlanjut hingga memakan korban, kalau saja serombongan polisi dengan senjata siap meledak, tidak segera menghambur masuk. Rupanya sejak keributan awal terjadi, petugas keamanan diskotik telah membaca gelagat buruk, hingga cepat-cepat menghubungi kepolisian.

Di Rumah Sakit MMC Rasuna Said, Kisworo sedang menunggui anak majikannya yang baru saja terlepas dari maut, akibat kegemarannya mengkonsumsi narkotika jenis shabu-shabu dan pil-pil bulat jenis Halusinogen yang dapat merubah perasaan dan pikiran hingga mampu merubah daya pandang seseorang.

Kisworo duduk di ruang tunggu, termenung, membayangkan rehabilitasi medis yang akan diurusnya untuk si anak majikan. Sebuah pekerjaan yang sulit, tak sembarang orang boleh mengetahui bahwa si pecandu adalah anak seorang pejabat tinggi di pemerintahan. Kisworo berencana… (handphonenya bergetar) Sebelum berbunyi dan mengganggu ketentraman rumah sakit, segera Ia angkat untuk bicara.

“Kis, dimana Kamu?” terdengar suara berat di seberang.

“Masih menunggui Eko di rumah sakit Pak.” Kis menjawab bangga, merasa setia, hingga jam tiga pagi tanpa tertidur.

“Suruh orang lain buat jaga si Eko, Kamu cepat ke Polres Jakarta Selatan!” perintah suara di telponnya sempat membuat Kisworo kaget. “Polres Jakarta Selatan” pikirnya.

“Cepat Kamu urus si Dwi.” Dan “klik,” pembicaraan di putus. Artinya Kisworo harus segera melaksanakan perintah.

Kisworo mendengarkan dengan tekun penjelasan Kapolres Jakarta Selatan perihal peristiwa penembakan yang dilakukan Dwi, anak majikannya. Solusinya mudah, seperti biasa. Dia menekan beberapa nomer, berbicara dengan seseorang. Tak lama setelahnya, orang tersebut menghubungi Kapolres Jaksel. Terjadi negosiasi harga, Kapolres dan Kisworo sama-sama puas. Kini tinggal urusannya dengan wartawan, agar wartawan yang hadir tidak menuliskan berita sebagaimana kenyataannya, dengan imbalan yang tidak sedikit tentunya. Namun kali ini Kisworo tak lagi peduli besarnya biaya yang harus dibayar majikannya; mungkin Dia berpikir berapapun hebatnya bernegosiasi, tetap saja dirinya yang disalahkan atas pengeluaran sejumlah uang.

Urusan tuntas. Kisworo pamit pulang, bukan untuk istirahat, melainkan tugas berikutnya.

Memang Sang Majikan memiliki sekretaris pribadi yang mengurus masalah administrasi, namun soal relasi, hanya Kisworo yang dipercaya, hanya dia ahlinya. Pagi itu seusai membasuh tubuh dan berganti pakaian, Kisworo berjalan meninggalkan pandangan istrinya yang nampak trenyuh melihat kenyataan.

Kami menghadiri acara ulang tahun anak ke-tiga sang Boss Besar. Aku dan Pak Roni bekerja di salah satu anak perusahaan yang dimilikinya. Kami pilih tempat paling pojok. Meski bukan sekali ini hadir untuk acara-acara sepele yang diselenggarakan dengan mewah, namun tetap merasa asing di antara banyak kenalannya dari anak perusahaan lain.

Acara belum dimulai, meski sebagian besar tamu yang kesemuanya menduduki posisi penting telah hadir, memenuhi ruangan luas di belakang rumah yang juga berfungsi sebagai dermaga. Ada dua buah Yacht (kapal pesiar) yang diparkir melintang pada permukaan laut yang berair tenang. Kami mengambil piring kecil dan mengisinya dengan seikat buah anggur dan beberapa buah jeruk, lalu duduk kembali di pojok dekat laut dan buritan dari sebuah kapal pesiar.

Tamu kehormatan yang ditunggu tiba berbarengan: Kapolri dan Pejabat BIN. Acara dibuka oleh MC kocak, seorang selebritas wanita yang sesungguhnya laki-laki. Sebelumnya telah hadir pejabat-pejabat negara dan para pemimpin partai besar. Kisworo berjalan di belakang tamu kehormatan, ikut mengantar menemui tuan rumah; sang majikan. Dia melihat sekeliling, selanjutnya berjalan meninggalkan tamu kehormatan yang sibuk dengan ramah tamah palsu, menuju pojok dermaga dekat buritan.

“Selamat malam Pak Roni, Pak Rudi” sapanya ramah.

“Met malam Pak Kis.” Jawab kami hampir berbarengan, berdiri sambil mengulurkan tangan bersalaman.

“Lho, kok pada bujangan?” Tanya Pak Kis yang melihat kami hadir tanpa istri atau anak-anak.

“Istri dan anak Saya sedang pulang ke Surabaya, menjenguk neneknya yang sedang sakit” jawab Pak Roni.

“Iya Pak Kis, istri Saya juga tidak bisa hadir karena harus menunggui bayi kami yang kurang sehat” Jawabku. “Tapi Saya sudah meninggalkan nomer telponnya Pak Roni ini, kalau-kalau istri Saya tidak dapat menghubungi handphone saya”.

“Ahh.. Keluarga bahagia dimana saja, mirip satu sama lain; keluarga yang tidak bahagia memilik ketidakbahagiaan mereka berbeda-beda.” Tiba-tiba Kami rasakan komentar Pak Kis seperti keluhan.

“Memangnya ada apa Pak Kis?” Tanya Pak Roni.

“Iya, kok kelihatannya capek sekali Pak Kis? Susulku.

Kisworo menarik kursi di dekatnya, kemudian duduk sambil meletakkan sebuah surat kabar di meja. Aku dan Pak Roni ikut duduk.

Kisworo mulai bercerita panjang tentang kegiatannya belakangan ini, keluhannya tentang dirinya yang menjadi manusia mati lantaran budi. Tentang jasa baik majikannya yang telah mengangkat orang tuanya dari kejatuhan. Kami terenyuh mendengarnya bercerita tentang majikannya yang juga adalah Boss Besar kami. Bahwa kalau tidak karena hutang budi, tak kan mau Ia bekerja sebagai tangan kanan seorang koruptor kakap.

“Boss kita bukanlah kelas teri yang bermain dengan uang tip, angpao, administrasi, uang diam, pelicin, uang rokok, uang damai atau segala macam korupsi kelas sampah.” Geram Pak Kis.

“Mainannya adalah Pajak, manipulasi tanah, Mark-up anggaran, proses tender dan penyelewengan besar lainnya” dengan setengah berbisik. Hal ini membuat Kami tak lagi menghiraukan acara yang nampaknya seru dengan teriakan-teriakan kebahagiaan semu peserta acara.

“Hati-hati lho Pak Kis!” Potong Pak Roni.

“Iya Pak, jangan bicara sembarangan.” Kataku bermaksud untuk tidak berbicara dengan sembarang orang.

“Saya tahu itu, makanya Saya bicara dengan kalian, orang-orang yang selalu dibicarakan keburukkannya oleh Boss Besar karena pikiran skeptis kalian.” Pak Kis bicara, sementara tangannya mengambil surat kabar yang tadi diletakkan di meja.

“Kalian sudah baca ini?” Pak Kis menunjukkan di halaman depan pada kolom bawah kanan, sebuah tulisan berjudul “Pengawal anak pejabat, nyaris menembak pengunjung diskotik”.

“Saya yakin, kalian tahu berita sebenarnya.”
Pak Kis benar, Kami memang tahu hal itu dari berita yang beredar di kalangan karyawan.

“Hebat bukan?” pertanyaannya mirip pernyataan.

“Dengan uang, Boss kita bisa membeli semuanya. Bukan hanya maskapai penerbangan, pesawat pribadi, kapal pesiar seperti ini,” jarinya menunjuk yacht di sebelah kami “rumah mewah, mobil mewah, yang Saya sendiri tidak tahu berapa jumlahnya.” Mata Pak Kis nanar, melirik sekilas pada Boss Besar yang sedang tertawa di atas panggung.

“Tapi Boss dapat menjadikan dirinya orang yang tidak dapat disentuh hukum. Dengan uang hasil korupsi, Ia bisa melakukan apa saja!” Pak Kis berhenti sejenak, mengambil gelas berisi air putih di atas meja, menenggak habis, kemudian melanjutkan.

“Jaman Soeharto, para pejabat birokrat menerima upeti dengan memelihara kestabilan para pengusaha besar, lalu anak-anak atau saudara si pejabat, menjadi kroni pengusaha. Kini setelah reformasi, korupsi tidak lagi terbatas oleh kroni penguasa, malah sudah merata ke semua lembaga pemerintah dan sektor swasta, ke seluruh masyarakat dan makin individual.” Pak Kis menatap kami.

“Artinya, tidak ada lagi garis hierarki, petunjuk atasan atau restu lembaga, tapi semua orang sudah bisa berinisiatif sendiri, bertindak atas nama sendiri, melakukan korupsi, demi kemakmuran katanya; menggelembungkan perut sendiri.”

“Parahnya, dengan uang itu mereka menjadi tak tersentuh oleh tangan hukum, karena lembaga yudikatif juga melakukan praktek yang sama.” Pak Kis berhenti bicara, ada kebencian dan ketidakberdayaan di dirinya.

“Maaf Pak Kis, Kami sependapat dengan semua ucapan Pak Kis. Tapi bukankah kalau tiada bedil di pinggang, lebih baik kita berpedang lapang?” Ucapku untuk bersabar, karena Kami tak memiliki kemampuan.

Pak Roni menambahkan: “Benar Pak, jangankan Kita yang hanya karyawan. Lha wong pemerintah sejak jaman Bung Karno sudah pernah mendirikan badan pemberantasan korupsi dengan mendirikan KOTRAR (Komando Tertinggi Retooling Aparatur Negara), Soeharto membentuk BPKP (Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan) dan hanya menghasilkan tayangan di TVRI; wajah-wajah koruptor kelas ringan.” Aku melihat sedikit perubahan pada wajah Pak Kis; mungkin teringat akan orangtuanya yang ikut menjadi bintang dalam tayangan tersebut.

“Hingga saat ini-pun pemberantasan korupsi hanya jadi ikon yang memiliki nilai jual bagi calon atau pemerintahan yang baru. Lantas apa yang harus dilakukan? Peningkatan individu dan kesejahteraan masyarakat dengan memperbanyak pelatihan dan pengajaran? Atau dengan penangkal moral? Saya pikir itu semua sudah tidak relevan lagi, karena moral hanya menyangkut rasa malu yang notabene sudah tidak dimiliki para pejabat kita. Atau agama? Agama hanya pertanggungjawaban di hari kemudian. Saat ini orang perlu makan, menyekolahkan anak, kenyamanan hidup. Bagaimana pula jika korupsi memang sebuah metode dan cara untuk mencari uang dengan gampang?” Kuberondong Ia dengan pertanyaan berpondasi skeptis.

“Ada usul lain yang masuk akal.” Katanya.

“Kita buat pesta makan dengan membakar beberapa ikan besar. Ini Kita perlukan sebagai tanda bahwa tidak ada ‘impunity’. Tidak ada lagi orang yang bisa bebas dari hukuman karena korupsi. Sebagai Shock Therapy, kejutan yang benar-benar kejutan, bukan lagi sementara, namun berkelanjutan” Jawabnya mantap.

Mungkin Pak Kisworo benar. Satu yang jadi pertanyaan: Siapa “Kita” ini? Ya, Kita ini siapa?

Lalu kuingat pepatah China: “Jika seseorang menjadi raja, anjingnya-pun ikut ke surga”.
---

Jakarta, 04 November 2007
Mugi Subagyo

Lanjutan..!

23 August 2007


HARGA CINTA SEJATI

Jakarta, Juli 1990

Saat-saat yang kureguk bersamamu
Laksana taman yang mewangi
Senja yang temaram
Dan air mancur yang bernyanyi
… Kau
Dan hanya Kau satu-satunya
Yang mampu membuatku merasa hidup

Menurut cerita
Ada orang yang pernah melihat bidadari
Tapi Aku sudah melihatmu
… Dan itu sudah cukup

Ada bintang dalam mata seorang gadis mungil berwajah lembut dan sangat manis, saat menunjukkan sajak pendek dari seseorang yang Ia yakini menyimpan kerinduan miliknya. Saat itu, pelajaran sekolah belum lagi dimulai, dan seperti biasa, Aku menuju kantin di samping kelas untuk sarapan ketoprak lontong. Belum juga setengahnya kumakan, kulihat Pratiwi berlari mendekatiku.

“Abang! Lihat Bang! Aku dapat surat cinta.” Gadis hitam manis berdagu lancip mengabarkan kegembiraan hatinya melalui bibir tipis, agak berteriak.

“Dari siapa?” pertanyaan ini kulemparkan bersamaan dengan membaca tulisan di bagian dalam buku yang Ia perlihatkan.

“Dari Abang Palguna.” Jawabnya mantap.

“Darimana Kamu tahu ini dari Palguna?” Kukembalikan buku itu dengan kesangsian “Di situ tidak tertera namanya” kulanjutkan mengunyah tauge yang diberi bumbu kacang.

“Ini sudah pasti dari Dia Bang! Karena Dia yang meminjam dariku tiga hari yang lalu.” Pratiwi mengambil duduk di dekatku. Kami sudah lama berteman, meski di SMA ini, kami beda kelas dan jurusan, namun sering bepergian dengannya bersama teman-teman lain. Dan karena rumah kami berdekatan, Pratiwi memanggilku dengan sebutan Abang. Katanya: saya baik dan penuh perhatian layaknya seorang kakak terhadap adiknya. Mungkin juga karena memang dia anak satu-satunya.

“Meski begitu, belum tentu Palguna yang menulis, walau kemungkinan besarnya tulisan itu ditujukan untukmu.” Dua teguk teh hangat membantu masuk makanan yang sempat tercekat di kerongkongan.

“Lagipula, Kamu tahu sendiri, bahwa buku itu kita gunakan bersama-sama kemarin malam.” Kucoba mengingatkan.

“Meski kita belajar kelompok di rumah Palguna; disana ada Bismaka, Tejo, Sarka dan …” Kuarahkan ibu jari ke dada sendiri.

“Atau bisa jadi tulisan itu buat Utari, kan dia juga ikut kemarin.” Ledekku pada Pratiwi.

“Tidak Bang! Ini pasti dari Palguna. Saya hapal bentuk tulisannya.” Tegas Pratiwi seakan ingin meyakinkanku atau mungkin untuk meyakinkan dirinya sendiri.

“Lho! Kami berempat memang mirip tulisannya, kecuali Tejo yang mempunyai tulisan sangat indah seperti tulisan anak perempuan.” Kutunjuk Tejo yang baru datang, masih dengan menjinjing tas karung goninya.

“Iya. Tulisannya bagus mirip tulisan anak perempuan.” Pratiwi bangkit berdiri.

“Tapi anak perempuan yang tidak sekolah!” Pratiwi menjauh setelah mengambil dua-tiga kerupuk dari piring makanku. Aku hanya tersenyum mendengar ejekannya.

Kulihat mereka berpapasan dan terjadi sedikit pembicaraan. Tidak lama kemudian Tejo menghampiriku.

“Yah.. Sekarang datang pengacau.” Batinku.

“Hey Broer! Tumben datang pagi-pagi, apa semalam nginap di sekolah? Pertanyaan basi yang sering dilontarkan Tejo, tidak kujawab.

“Tadi papasan dengan Pratiwi, Dia bicara apa?” Langsung saja kutanyakan itu.

“Oh.. Tidak tahu tuh! Dia langsung menuduhku mencoret-coret bukunya yang kita pakai belajar bersama kemarin malam.”

“Lalu?” sergapku.

“Ya Tidak-lah, mana Aku tahu soal bukunya. Kemarin malam kan Aku yang melontarkan pertanyaan, kalian yang menjawab dengan referensi buku itu.” Tejo menjawab sambil memesan ketoprak lontong, dan kepada Mas Rasino penjual ketoprak, Tejo menunjuk ke arahku, menjelaskan maksudnya mengenai siapa yang akan membayar, kemudian mengambil gelas minumku yang hampir tandas diminumnya, jika tidak kurebut.

Percakapan selanjutnya dengan Tejo, lebih banyak bercerita tentang rencana kami untuk kemping akhir minggu ini, jadi kami susun rencana. Mudah ditebak siapa-siapa yang akan diikut-sertakan.
------
Curug Nangka, Bogor, Juli 1990

Pratiwi mendekatiku dengan kegundahan, saat kami ber-enam asik bermain gitar dan bernyanyi di dekat air terjun. Kutinggalkan teman-teman sejenak, karena kulihat tangannya melambai memanggil.

Pratiwi kembali menunjukkan secarik kertas. Kuambil lampu badai, kemudian kudekati dan kubaca apa yang tertulis.

Pratiwi,
Andaikan kumiliki pakaian bersulam dari surgawi
Terbuat dari cahaya emas dan perak asli
Pakaian berwarna hitam, lembayung dan merah hati
Terbuat dari malam, siang dan sore hari
Akan kuhamparkan pakaian-pakaian itu di bawah kakimu.

Tapi Aku seorang hina yang hanya memiliki mimpi
Dan telah kuhamparkan mimpi-mimpiku di bawah kakimu
Mimpi yang terjalin lembut
Karena Engkau-lah
Yang membuat mimpi-mimpiku menjadi kenyataan.

Kini tulisan itu jelas diperuntukkan buat Pratiwi, dari seseorang diantara kami yang menaruh hati padanya, namun pengecut untuk berterus terang, atau mungkin masih belum berani menyematkan namanya.

“Sekarang jelas kan? Cinta itu untukku!” Pratiwi berbisik sambil mendesah.

“Iya!” Singkat saja kujawab.

“Itu artinya: Abang Palguna memang suka padaku seperti Aku menyukainya.” Masih dengan keyakinan pada seseorang, Pratiwi melanjutkan.

“Mulai hari ini, akan Aku berikan cinta dan kasih sayangku padanya” pupil mata Pratiwi membesar untuk memberikan ketajaman fokus dari penglihatannya; lurus datar membidik Palguna. Nampak jelas kebahagiaan seperti tumpah meluap ternoda kebanggaan.

Hanya wanita berselera aneh yang tak menyukai Palguna, pria berpostur tinggi gagah dengan otot-otot seperti dicetak dari gen-gen berkualitas. Palguna memiliki dua wajah sekaligus; wajah seorang pejuang dan kelembutan gadis pesolek, meski itu alamiah. Pembauran yang membuat orang lain akan memberikan penilaian terhadapnya sebagai Pria yang Cantik.

“Bahkan tubuhku-pun akan kupasrahkan padanya.” Sebuah pernyataan biasa, keluar dari mulut seseorang yang mengkultuskan orang lain.

“Mungkin agak berlebihan,” kutanggapi pernyataan Pratiwi “namun cinta yang besar, jangan sampai membutakan hati dan pikiranmu.” Kulanjutkan pemaparan bersangkutan dengan diri Palguna yang kukenal. Sebagaimana pria seusia kami, masih menyukai kebebasan, petualangan dan pencarian jati diri, jauh dari rencana masa depan.

Pratiwi membantahku, dan ini untuk pertama kali sejak kukenal dia lebih dari tujuh tahun lalu. Dia tetap pada keyakinan cintanya. Kembali kuingatkan pandangan mereka yang berbeda; juga dibantahnya dengan tameng “cinta sejati”.
-----
Jakarta, Januari 1992

Pratiwi,
Aku tidak tahu awalnya hingga akhirnya kalian bisa jalan bersama, berdua saja; tidak pernah Engkau ceritakan itu. Aku hanya menampung keluh kesah, curhat hingga permohonan untuk menolongmu, berkali-kali membantumu. Dan ketika kembali kuingatkan tentang kelanggengan hubungan kalian, kembali pula tameng “cinta sejati” kau gunakan.

“Apa Abang masih tidak percaya bahwa cinta sejati itu memang ada?” Tanyamu sedikit tersinggung.

“Maaf, tapi cinta sejati itu seperti hantu,” sanggahku “hampir semua orang membicarakannya, namun hanya sedikit yang benar-benar pernah menjumpainya.” Sambil mengalihkan pandangan, perkataan ini kuberi tekanan.

“Ah.. Abang Cuma iri!”

“Abang tidak senang dengan kedekatan Kami, karena itu berarti Kami akan lebih sering berdua”
“tanpa mengikut-sertakan Abang.” Ucapmu membalik posisi rasa tersinggung.

“Baik! Aku akan membantumu sampai tidak lagi dibutuhkan.” Aku mengalah.

Jakarta, Desember 1997

Pernikahan kalian-pun dapat terlaksana, meski untuk itu Aku menerima hinaan, cercaan dari mertuamu. Itu kuterima, wajar mereka marah karena Aku membuat anaknya berpindah keyakinan. Namun itu belum juga cukup untuk menahanmu menggunakan campur-tanganku. Kulakukan itu semua, meski awalnya kebimbangan menggantikan bayanganku, tapi tetap saja kulakukan itu Pratiwi, untuk kebahagiaanmu.

Yogyakarta, Juli 2004

Tujuh tahun usia pernikahan kalian, rupanya belum juga cukup dalam membentuk pribadi yang saling membutuhkan. Surat yang Kau layangkan bercerita tentang putus asa, hanya keputus-asaan. Keindahan sajak atau puisi dari suamimu tidak lagi Kau rasakan, apalagi isinya. Kalian berpisah, dengan sebuah keputusan berlandaskan amarah; talak tiga, sebuah keputusan yang tidak lagi memungkinkan untuk mempersatukan kalian kembali. Meski Aku datang kembali.

Pratiwi,
Kamu tidak akan tahu, bahwa Aku menangis membaca suratmu. Aku menyesal tidak mengatakan kebenaran tentang orang yang pernah Kau cintai sepenuh hati. Karena kekhawatiran akan merusak kebahagiaanmu, Aku memilih diam, menjadi pengecut.
-----
Pratiwi nyaris menutup buku agenda yang dahulu pernah diberikannya untukku, namun tulisan di akhir buku menghentikannya.

Ya! Pratiwi datang menemuiku meminta bantuan untuk mengadakan reuni guna mengisi kekosongan hati dan jiwanya. Mungkin juga Pratiwi beranggapan bahwa Aku pasti mau membantunya. Dilihatnya Aku memiliki banyak waktu karena sampai saat ini masih hidup sendiri. Buku agenda tersebut kususun rapi di lemari kaca, namun Ia mengenali, kemudian mengambil untuk membacanya. Dan ini terjadi saat kutinggalkan Ia di ruang tunggu, untuk kubuatkan telur mata sapi kesukaannya.

Aku kembali padanya, dua piring nasi lengkap dengan telur mata sapi hampir terlepas dari tanganku. Pratiwi menubrukku dengan tangisnya yang menjadi. Mataku berkeliling mencari sebabnya. Kulihat buku agendaku tergeletak , terbuka pada halaman terakhir. Disana jelas kuhafal tulisan yang belum lama kutulis:

Jakarta, 31 Juli 2007

Pratiwi,
Engkau bisa menyerahkan dirimu kepada orang lain,
tetapi tidak ada orang yang bisa mencintaimu lebih murni,
lebih sempurna dariku.
Tak ada yang bisa merasakan kebahagiaanmu sesuci yang kurasakan,
dan selamanya kurasakan seperti itu.
Dan di dalam hati ini,
semua itu mempunyai sebuah ruangan yang tenang,
berlangit-langit tinggi,
diterangi sinar matahari.
Dimana ada sebuah tempat tidur putih,
dan Dirimu.

Aku tahu,
Mencintai seseorang,
berarti kehilangan waktu atas diri
Mencintai seseorang,
berarti siap terluka, kecewa bahkan sakit hati
Karena itulah…

Aku mencintaimu.
-----
Akhirnya Pratiwi mengerti akan makna cinta sejati, meski untuk itu ada harga yang harus dibayar. Banyak waktu telah pupus, dan waktu tak pernah mau menunggu, ia ibarat pedang, yang memotong usia tanpa terlihat.

Jakarta, 17 Agustus 2007
Mugi Subagyo

Lanjutan..!

Islamic Calendar Widgets by Alhabib
Free Hijri Date

Kecantikan seseorang harus dilihat dari matanya, karena itulah pintu hatinya - tempat dimana cinta itu ada.