TELAGA PARA PEMIMPI
By: Alika Syafira Indreswari
Lanjutan..!
SDN 02 Menteng, Jl. Tegal No. 10
Bayu adalah seorang remaja yang belum lama ditinggal mati kedua orangtuanya. Dia mencari nafkah dengan menyumbangkan tenaganya untuk siapa saja yang membutuhkan. Pernah Bayu memandikan kuda, kerbau, membersihkan kandang, mengangkat dan membawakan barang belanjaan orang-orang di pasar untuk diangkat dengan gerobak delman, dan banyak lagi usahanya demi sesuap nasi penyambung hidup. Kedua orangtuanya tiada mewarisi apa-apa, sehingga Bayu hanya berjalan tanpa arah, dari desa satu ke desa lainnya.
Dalam pengembaraannya, dia sampai pada sebuah desa yang aneh, dimana anak-anak mudanya banyak yang terlihat duduk melamun bermalas-malasan, padahal orang-orang tuanya Nampak melakukan banyak pekerjaan. Anak muda yang diperhatikannya sedang asik melamun dan sesekali tersenyum sendiri. Hal ini membuatnya bergidik ngeri.
“Ah, nama desa Sugih Waras ini sungguh tidak sesuai dengan penduduknya.” Gumam Bayu setelah meninggalkan seorang bapak yang baru saja ditanyai tentang nama desa tersebut.
“Lebih baik aku melanjutkan perjalanan menuju desa lain yang ada di seberang hutan itu, mumpung hari masih siang begini” Niatnya mantap sambil menatap hutan yang berada di sisi timur desa Sugih waras.
Di tepi desa di pinggir hutan, Bayu masih saja menemui anak-anak muda seusianya yang melamun dan tertawa-tawa sendiri. Bayu terus melangkahkan kakinya memasuki hutan yang nampaknya tidak terlalu luas itu.
Setelah menempuh perjalanan setengah dari luasnya hutan, Bayu melihat sebuah telaga yang airnya jernih dan dikelilingi pohon-pohon besar yang berdaun lebat. Pada sisi kiri telaga ada sebuah bukit kecil yang menyerupai dinding batu. Dari tengah dinding batu tersebut, mengalir air yang menyerupai mata air. Setelah puas mengamati sekeliling telaga dari jauh, Bayu memutuskan untuk membersihkan tubuhnya dengan berendam dalam air telaga.
Bayu berenang kesana kemari dengan senang hati sambil menikmati keindahan bunga-bunga di tepi telaga. Pikirannya menerawang ke masa lalu, saat kedua orang tuanya masih ada, mereka pernah mengajak dan megajari Bayu berenang di sungai yang ada di belakang gudang tua rumah majikan kedua orangtuanya. Hati Bayu gundah, dia mengaharapkan lagi kehadiran orangtuanya untuk merasakan kebahagiaan bersama.
Tiba-tiba Bayu mendengar suara seperti orang sedang bercakap di belakangnya. Bayu membalikkan badannya ke arah pohon pinus tempat dia meletakkan pakaiannya. Awalnya Bayu tidak yakin saat melihat dua orang yang nampaknya sedang mengumpulkan kayu bakar yang banyak berserakan di dekat pohon-pohon pinus. Namun setelah diamati dengan seksama, sontak Bayu berenang ke pinggir secepat-cepatnya sambil berteriak.
“Ayahhhhh..!! Ibuuu..!! Ini Bayuuu..”
Kerinduan pada kedua orangtuanya membuat Bayu berlari seperti orang gila saat berada di tempat dangkal pinggiran telaga. Begitu mencapai daratan, Bayu langsung menuju kedua orang tuanya. Bayu bingung bercampur heran, kemana perginya ayah dan ibunya. Mengapa tiba-tiba mereka menghilang seperti ditelan bumi dan hanya meninggalkan tumpukan ranting-ranting kecil kayu bakar.
Diambilnya sebatang kayu yang paling besar, dipeluknya kayu tersebut, dan Bayu menangis.
Bayu terus menangis, hingga tidak disadari olehnya datang seorang yang sudah sangat tua berjalan tertatih-tatih mendekatinya.
“Anak muda, mengapa engkau menangis, dan mengapa pula kau memeluk kayu tersebut?”
Bayu kaget, ditatapnya pak tua tersebut dari atas sampai kaki. “Hmm, pak tua ini pasti manusia, karena kedua kakinya menginjak bumi.” Gumam Bayu dalam hati, namun tak juga dia menjawab dan masih saja menangis.
“Apa yang kau tangisi anak muda? Itu hanya kayu bakar yang banyak kau temui di sepanjang hutan ini.” Tanya pak tua tadi yang sudah duduk di samping Bayu.
Setelah beberapa kali ditanya, barulah Bayu memberikan jawaban "Maaf Kek, tapi baru saja saya melihat kedua orangtua saya di tepi telaga ini, namun ketika saya berlari mengejar mereka, tiba-tiba saja mereka menghilang. Kalau ini semua cuma mimpi, mengapa kayu bakar ini yang tadi dipegang orang tua saya, masih ada." cerita Bayu masih dilumuri kesedihan.
Namun sang Kakek langsung menggamit tangan Bayu dan mengajaknya ikut ke tempat tinggal yang tak jauh dari telaga. Sementara Bayu hanya bisa pasrah bagai kerbau dicucuk hidungnya langsung mengikuti ajakan kakek tersebut.
Selama dalam perjalanan, Bayu merasa aneh, mengapa Ia mau saja mengikuti ajakan kakek sedangkan dalam pikirannya masih tersimpan banyak pertanyaan atas peristiwa yang baru saja ia alami.
Tidak berapa lama sampailah mereka di pinggir sungai kecil berair jernih yang dapat memperlihatkan batu-batu beraneka warna di dasarnya. Sedang asiknya Bayu memperhatikan batu-batu tersebut, sampai-sampai ia tak sadar ketika kakek yang menuntunnya berhenti sambil melepaskan pegangan tangannya.
"Masuklah dulu Nak.! Nanti akan kakek terangkan sejelas-jelasnya tentang apa yang baru engkau alami."
Tanpa diminta kedua kali, Bayu masuk ke dalam pondok bambu yang meskipun kecil, namun memiliki sebuah dipan cukup besar di dalamnya dan langsung merebahkan diri dengan menyilangkan kedua tangan menutupi dahinya. Sementara dari mulut sang kakek terdengar senandung yang lamat-lamat namun menggores kalbu, menghantarkan kepiluan mendalam.
"Jangan kau terus hanyut Nak! Tidak satupun di dunia ini yang dapat mengembalikan masa lalu. Jadi sekarang bangunlah! Kakek akan mulai ceritanya."
Bayu bangun dengan malas, dilihatnya sang kakek sudah pula duduk di sampingnya sambil menggeser tubuhnya untuk bersandar pada dinding bambu.
"Ini sebuah kisah sangat lama yang pernah kakek dengar saat kecil, dan kebenaran cerita ini tidak dapat dibuktikan karena tidak satupun tersisa peninggalan yang dapat membuktikannya, kecuali reruntuhan bangunan di atas bukit sana" tangan kakek menunjuk ke arah bukit kecil yang menyerupai bentuk kepala dan tubuh seekor gajah.
"Syahdan di atas bukit itu pernah berdiri sebuah kerajaan kecil yang dipimpin seorang raja. Sang raja hanya memiliki seorang istri yang telah wafat saat putrinya masih berumur belasan. Meskipun putrinya sangat cantik, namun kepergian ibunya membuat luka tersendiri dalam hatinya yang selalu dirundung duka, sehingga kecantikan sang putri tersaput kepucatan. Sang raja tidak dapat berbuat banyak untuk membantu putrinya menemukan keceriaan." Bayu memperhatikan wajah kakek yang nampak murung saat bercerita.
bersambung...
Bayu adalah seorang remaja yang belum lama ditinggal mati kedua orangtuanya. Dia mencari nafkah dengan menyumbangkan tenaganya untuk siapa saja yang membutuhkan. Pernah Bayu memandikan kuda, kerbau, membersihkan kandang, mengangkat dan membawakan barang belanjaan orang-orang di pasar untuk diangkat dengan gerobak delman, dan banyak lagi usahanya demi sesuap nasi penyambung hidup. Kedua orangtuanya tiada mewarisi apa-apa, sehingga Bayu hanya berjalan tanpa arah, dari desa satu ke desa lainnya.
Dalam pengembaraannya, dia sampai pada sebuah desa yang aneh, dimana anak-anak mudanya banyak yang terlihat duduk melamun bermalas-malasan, padahal orang-orang tuanya Nampak melakukan banyak pekerjaan. Anak muda yang diperhatikannya sedang asik melamun dan sesekali tersenyum sendiri. Hal ini membuatnya bergidik ngeri.
“Ah, nama desa Sugih Waras ini sungguh tidak sesuai dengan penduduknya.” Gumam Bayu setelah meninggalkan seorang bapak yang baru saja ditanyai tentang nama desa tersebut.
“Lebih baik aku melanjutkan perjalanan menuju desa lain yang ada di seberang hutan itu, mumpung hari masih siang begini” Niatnya mantap sambil menatap hutan yang berada di sisi timur desa Sugih waras.
Di tepi desa di pinggir hutan, Bayu masih saja menemui anak-anak muda seusianya yang melamun dan tertawa-tawa sendiri. Bayu terus melangkahkan kakinya memasuki hutan yang nampaknya tidak terlalu luas itu.
Setelah menempuh perjalanan setengah dari luasnya hutan, Bayu melihat sebuah telaga yang airnya jernih dan dikelilingi pohon-pohon besar yang berdaun lebat. Pada sisi kiri telaga ada sebuah bukit kecil yang menyerupai dinding batu. Dari tengah dinding batu tersebut, mengalir air yang menyerupai mata air. Setelah puas mengamati sekeliling telaga dari jauh, Bayu memutuskan untuk membersihkan tubuhnya dengan berendam dalam air telaga.
Bayu berenang kesana kemari dengan senang hati sambil menikmati keindahan bunga-bunga di tepi telaga. Pikirannya menerawang ke masa lalu, saat kedua orang tuanya masih ada, mereka pernah mengajak dan megajari Bayu berenang di sungai yang ada di belakang gudang tua rumah majikan kedua orangtuanya. Hati Bayu gundah, dia mengaharapkan lagi kehadiran orangtuanya untuk merasakan kebahagiaan bersama.
Tiba-tiba Bayu mendengar suara seperti orang sedang bercakap di belakangnya. Bayu membalikkan badannya ke arah pohon pinus tempat dia meletakkan pakaiannya. Awalnya Bayu tidak yakin saat melihat dua orang yang nampaknya sedang mengumpulkan kayu bakar yang banyak berserakan di dekat pohon-pohon pinus. Namun setelah diamati dengan seksama, sontak Bayu berenang ke pinggir secepat-cepatnya sambil berteriak.
“Ayahhhhh..!! Ibuuu..!! Ini Bayuuu..”
Kerinduan pada kedua orangtuanya membuat Bayu berlari seperti orang gila saat berada di tempat dangkal pinggiran telaga. Begitu mencapai daratan, Bayu langsung menuju kedua orang tuanya. Bayu bingung bercampur heran, kemana perginya ayah dan ibunya. Mengapa tiba-tiba mereka menghilang seperti ditelan bumi dan hanya meninggalkan tumpukan ranting-ranting kecil kayu bakar.
Diambilnya sebatang kayu yang paling besar, dipeluknya kayu tersebut, dan Bayu menangis.
Bayu terus menangis, hingga tidak disadari olehnya datang seorang yang sudah sangat tua berjalan tertatih-tatih mendekatinya.
“Anak muda, mengapa engkau menangis, dan mengapa pula kau memeluk kayu tersebut?”
Bayu kaget, ditatapnya pak tua tersebut dari atas sampai kaki. “Hmm, pak tua ini pasti manusia, karena kedua kakinya menginjak bumi.” Gumam Bayu dalam hati, namun tak juga dia menjawab dan masih saja menangis.
“Apa yang kau tangisi anak muda? Itu hanya kayu bakar yang banyak kau temui di sepanjang hutan ini.” Tanya pak tua tadi yang sudah duduk di samping Bayu.
Setelah beberapa kali ditanya, barulah Bayu memberikan jawaban "Maaf Kek, tapi baru saja saya melihat kedua orangtua saya di tepi telaga ini, namun ketika saya berlari mengejar mereka, tiba-tiba saja mereka menghilang. Kalau ini semua cuma mimpi, mengapa kayu bakar ini yang tadi dipegang orang tua saya, masih ada." cerita Bayu masih dilumuri kesedihan.
Namun sang Kakek langsung menggamit tangan Bayu dan mengajaknya ikut ke tempat tinggal yang tak jauh dari telaga. Sementara Bayu hanya bisa pasrah bagai kerbau dicucuk hidungnya langsung mengikuti ajakan kakek tersebut.
Selama dalam perjalanan, Bayu merasa aneh, mengapa Ia mau saja mengikuti ajakan kakek sedangkan dalam pikirannya masih tersimpan banyak pertanyaan atas peristiwa yang baru saja ia alami.
Tidak berapa lama sampailah mereka di pinggir sungai kecil berair jernih yang dapat memperlihatkan batu-batu beraneka warna di dasarnya. Sedang asiknya Bayu memperhatikan batu-batu tersebut, sampai-sampai ia tak sadar ketika kakek yang menuntunnya berhenti sambil melepaskan pegangan tangannya.
"Masuklah dulu Nak.! Nanti akan kakek terangkan sejelas-jelasnya tentang apa yang baru engkau alami."
Tanpa diminta kedua kali, Bayu masuk ke dalam pondok bambu yang meskipun kecil, namun memiliki sebuah dipan cukup besar di dalamnya dan langsung merebahkan diri dengan menyilangkan kedua tangan menutupi dahinya. Sementara dari mulut sang kakek terdengar senandung yang lamat-lamat namun menggores kalbu, menghantarkan kepiluan mendalam.
"Jangan kau terus hanyut Nak! Tidak satupun di dunia ini yang dapat mengembalikan masa lalu. Jadi sekarang bangunlah! Kakek akan mulai ceritanya."
Bayu bangun dengan malas, dilihatnya sang kakek sudah pula duduk di sampingnya sambil menggeser tubuhnya untuk bersandar pada dinding bambu.
"Ini sebuah kisah sangat lama yang pernah kakek dengar saat kecil, dan kebenaran cerita ini tidak dapat dibuktikan karena tidak satupun tersisa peninggalan yang dapat membuktikannya, kecuali reruntuhan bangunan di atas bukit sana" tangan kakek menunjuk ke arah bukit kecil yang menyerupai bentuk kepala dan tubuh seekor gajah.
"Syahdan di atas bukit itu pernah berdiri sebuah kerajaan kecil yang dipimpin seorang raja. Sang raja hanya memiliki seorang istri yang telah wafat saat putrinya masih berumur belasan. Meskipun putrinya sangat cantik, namun kepergian ibunya membuat luka tersendiri dalam hatinya yang selalu dirundung duka, sehingga kecantikan sang putri tersaput kepucatan. Sang raja tidak dapat berbuat banyak untuk membantu putrinya menemukan keceriaan." Bayu memperhatikan wajah kakek yang nampak murung saat bercerita.
bersambung...
Lanjutan..!