PAHLAWAN
Namanya Pak Soleh. Mungkin karena postur tubuhnya yang luas, hasil perkalian dari panjang dengan lebar, Ia mendapat sebutan “Torren”, yaitu nama benda yang digunakan sebagai tempat penampungan air di atas rumah, jadi panggil saja Ia dengan Pak Torren. Dia tinggal di sebuah kota yang gila; tempat korupsi jadi keutamaan mencapai kemakmuran.
Pak Torren benci pegawai negeri, yang berkantor di ruangan berkursi kayu dan rotan yang sudah kusam, meja kayu yang dipenuhi bekas api rokok. Di atas lemari besi panjang yang dinamakan “filling cabinet” itu berderet map kertas dalam “box file” yang tidak jelas apa fungsinya.
Ia benci pekerjaan itu, dan dengan perasaan yang dirundung kebencian, disenandungkan pertanyaan pada Tuhan yang menarik garis takdirnya justru ke pekerjaan itu; menjadi pegawai negeri, di seksi kependudukan.
Pukul satu siang, kesempatan untuk melepas unek-unek di kepalanya datang. Mereka makan siang di kantin belakang kantor walikota. Dan setelah berbasa-basi, mulai disampaikannya pandangan masyarakat yang meremehkan pegawai negeri.
“Apa salahnya pegawai negeri? Kalau-pun digambarkan sebagai sebuah jabatan yang hanya dipenuhi pengabdian dengan secuil kesejahteraan, bukankah justru pandangan ini keliru? Pegawai negeri bukanlah orang-orang yang lemah, bukan orang-orang sepele yang patut diremehkan. Pegawai negeri yang menentukan status kependudukan, status rumah seseorang, menentukan pajak, ijin usaha para pengusaha, surat keterangan berkelakuan baik, surat sengketa tanah, surat nikah atau talak, nasib sekolah anak-anak. Jadi Kita tak bisa diremehkan, kalau-pun ada, Mereka dapat Kita anggap sebagai orang yang kurang menyadari diri.” Sebuah jawaban didapat dari Pak Walikota, saat Ia tanyakan pendapatnya berkenaan dengan opini yang berkembang di masyarakat.
“Memang sebagai pegawai negeri, Kita terikat birokrasi.” Lanjut Pak Walikota.
“Tapi ini adalah suatu keniscayaan, bahwa tak ada seorang-pun mampu mengelakkannya. Bukankah sudah banyak usaha untuk menyingkirkannya, namun hasilnya adalah sebuah lelucon. Lantas siapa yang salah? Pegawai Negeri? Birokrasi? Atau orang-orang yang ingin menghapus birokrasi?” Jawabannya kali ini dirasakan sangat memojokkannya. Entah apa Ia yakin dengan jawaban ini.
“Tapi Pak, Saya pikir ada baiknya jika kita mau berhenti sesaat guna mendengarkan keinginan masyarakat kita.” Pak Torren menyampaikan pendapatnya dengan pikiran menerawang pada banyak kejadian tidak adil yang telah terjadi.
“Mereka bilang bahwa birokrasi adalah sumber kekakuan, kemacetan segala urusan, jadi, apa tidak sebaiknya Kita telaah kembali aturan yang ada untuk diperbaiki?” bujuknya.
“Jangan berpikir! Jangan gunakan perasaan! Taati saja peraturan yang ada, maka Kamu senantiasa benar dan sudah pasti selamat.”
“Ahh.. ini jawaban atau sebuah doktrin” pikir Pak Torren.
Tidak-kah Ia merasa seperti yang kurasakan? Perlakuan terhadap masyarakat yang tidak mampu, mulai dari penggusuran kios-kios kecil di sepanjang jalan, pungutan liar bila ada orang yang ingin mengurus ijin atau surat-surat. Padahal dari pedagang kaki lima itu, kita tarik setoran bertitel retribusi. Dan masyarakat, kita bebani kewajiban untuk memberikan data diri juga ijin untuk melakukan banyak hal. Bukankah mereka yang justru menggerakkan roda ekonomi, dan sebagai catatan: Mereka tidak memperoleh pekerjaan itu dari Kita, dari Birokrasi atau dari pemerintah, yang selalu berkampanye untuk mengurangi pengangguran.
Ya! Mereka bangkit dan berdiri dengan kaki sendiri, dan Kita tinggal memerasnya dengan berbagai peraturan. Tidak-kah Ia sadari bahwa adat dunia balas membalas? Apakah tenang hatinya setelah mendapat uang banyak hasil manipulasi yang dilakukan dengan bantuanku selama ini? Dana pemerintah, dana bantuan banjir, dana pendidikan, dan banyak lagi dana bantuan telah sukses dilencengkan.
Semua pertanyaan itu tinggal menjadi pertanyaan, karena Pak Walikota memberi isyarat tangan menyudahi pembicaraan sambil berlalu. Tinggal Pak Torren termangu dengan kegundahan, hingga air diminum rasa duri, nasi dimakan rasa sekam.
Lantas, apa sikapku sekarang? Menerima dan menjalankan doktrin itu? Rasanya seperti membasuh muka dengan air liur.
Jika tidak, apa Aku harus meninggalkan pekerjaan yang telah sepuluh tahun kujalani? Yang juga telah memberikan sebuah rumah berukuran 5x10 meter persegi dengan dua lantai. Sebuah rumah yang kubangun dari kumpulan amplop pemberian dari pimpinan. Otaknya tumpul, banyak ucapan berebut bicara dalam bathin bagai angin berputar dan ombak bersabung; tak jelas.
Jam tiga siang; seperti biasa Ia benahi meja kerja, kemudian pulang.
Tiga hari sebelumnya, Pak Torren bukanlah orang yang penuh pertimbangan antara akal dan perasaan. Dia adalah satu contoh dari tipikal masyarakat di negrinya, hanya saja, Ia selalu mengerjakan dengan baik segala tugas yang diembannya, dan kesetiaan pada pimpinan yang membuatnya memperoleh kepercayaan. Baginya, sekali beban terpasang di bahu, maka Ia junjung di kepala.
Hari itu, Jumat siang jam sebelas lewat. Kantornya kedatangan seseorang yang terkesan “penting”. Setelah berbicara beberapa saat di ruang kerja pimpinan, orang tersebut keluar dan berpapasan langsung dengannya. Sambil tersenyum Ia bertanya: “Maaf Pak, Dimana letak Mesjid terdekat ya?”
“Oh, Bapak keluar, lalu belok kiri, tidak jauh kemudian ada Mesjid, letaknya di sisi kanan jalan, Bapak tinggal menyeberang” Jawab Pak Torren seraya menunjuk dengan ibu jarinya.
“Oh, begitu. Terima kasih Pak” Orang Penting tersebut tersenyum, sekilas Ia perhatikan meja kerja Pak Torren yang dipenuhi arsip juga dokumen yang sepertinya dalam tahap sedang dikerjakan. Diiihatnya dokumen tersebut sebagian besar adalah proposal dari perusahaan, pesantren atau pengurus mesjid. Kemudian dengan agak lambat Ia dekati Pak Torren penuh kehati-hatian, diajukannya pertanyaan dengan lembut: “Bapak mau Jumatan bareng dengan Saya?”
“Maaf, Saya masih sibuk, Saya tidak punya waktu” Tanpa menoleh Pak Torren melanjutkan pekerjaannya. Mungkin ingin menunjukkan ke orang lain, bahwa pegawai negri bukanlah pengangguran terselubung seperti pendapat orang kebanyakan.
“Wah! Hati-hati lho Pak!” masih dengan senyum, Orang Penting ini mengingatkan.
“Maksud Bapak?” Tanya Pak Torren dengan nada bingung dan sedikit tersinggung.
“Oh Tidak, Saya tak bermaksud apa-apa, hanya mengingatkan bahwa sebaiknya Kita senantiasa berhati-hati dalam ucapan, karena bila Tuhan menjawab pinta Kita, dan memberikan Kita waktu yang lebih banyak, bukankah Kita malah jadi susah?” Orang ini menjawab dengan tebu yang ditanam di bibir; manis sekali.
“Waktu yang banyak, bisa berarti kita kehilangan banyak, mungkin kehilangan istri dan anak atau keluarga, kehilangan pekerjaan, kehilangan harta. Atau meski itu semua tidak Kita miliki, bisa saja kita kehilangan kesehatan. Bukankah dengan itu semua Kita akan memiliki waktu lebih banyak?” Keduanya sunyi sejenak.
“Ya sudah Pak, maaf kalau ucapan Saya tidak berkenan di hati Bapak.” Sambil membungkukkan badan “Saya hanya sekedar mengingatkan sebagai sesama saudara, agar Kita senantiasa menjadi orang yang mawas diri tanpa perlu dipaksa oleh Tuhan” Masih dengan senyum “Saya permisi ya Pak!” Dan Ia pun melangkah menuju ke anak tangga, meninggalkan Pak Torren dengan gedoran keras di pintu hatinya. Pak Torren tidak lagi mempertanyakan siapa gerangan bapak tadi, juga maksud kedatangan di kantornya, karena nanti pasti Pak Walikota akan menyampaikan perihal orang tersebut. Namun gedoran itu mampu membuka pintu hati yang selama ini macet oleh karat.
Sudah tiga bulan lebih, Pak Torren aktif berorganisasi di luar kegiatan kantor. Bersama organisasi pemuda dan masyarakat, Ia turut mendukung aksi yang menuntut pemerintahan yang baik di instansinya. Awalnya banyak orang ragu akan perubahan sikap ini, namun kelamaan Mereka percaya. Bukan hanya masyarakat yang senang dengan perubahan ini, anak dan istrinya-pun mendukung, karena selama ini Mereka dikucilkan tetangga karena dianggap sebagai istri dan anak-anak yang dibesarkan dari hasil korupsi.
Namun tidak semua orang suka melihat perubahan ini. Pak Walikota sering menegurnya berkali-kali bahkan mengancam. Hingga Sabtu pagi rumah Pak Torren dan beberapa rumah di sekitarnya terbakar. Mungkin si pelaku ingin memberikan penerangan agar dipahami Pak Torren. Sayangnya teguran ini tidak berhasil. Maklum, api bisa membakar banyak, tapi menerangi hanya sebentar.
Meski Pak Torren meyakini satu hal, bahwa tak ada jalan yang pasti untuk menang, namun ada jalan yang pasti untuk tidak kalah, yaitu jangan bertanding. Pak Torren memilih bertanding, dengan hasil tubuh penuh luka bakar saat berusaha menyelamatkan anaknya yang masih kecil di lantai atas, ketika kebakaran terjadi. Keluarganya selamat.
Di rumah sakit, kunjungan orang penting yang pernah menasihatinya, sanggup membuat ceria. Orang tersebut, Pak Sungkono dari Badan Pemberantasan Korupsi. Dia menerima tumpukan dokumen dari anak Pak Torren. Dengan data ini, jatuh hukuman kurungan tiga tahun lamanya untuk Pak Walikota, hanya Sang Walikota. Tidak ada lapisan diatasnya yang ikut menginap di bui. Pak Walikota pasang badan sendirian, gagah berani. Hukuman orang seperti ini, biasanya akan banyak mendapat remisi, potong masa tahanan; bantuan dari “orang atas” yang telah menganggapnya pahlawan penyelamat muka. Sayangnya Pak Torren tidak bertahan lama untuk melihat hasil perjuangannya, entah karena luka bakar yang diderita atau memang Tuhan ingin segera menemuinya untuk sesuatu yang abadi yang bakal diterima; Pak Torren mangkat sebagai pahlawan.
Anak-anak dan istri Pak Torren menginap sementara di rumahku yang terletak tidak jauh dari lokasi kebakaran, sebelum akhirnya mereka kembali ke kampungnya, di Purwokerto.
Aku tidak begitu mengenal Pak Torren serta tindak-tanduknya. Aku hanya mengenal anaknya yang sebaya denganku, tapi dari bapak-ku kisah ini diceritakan. Entah apa saja yang pernah diceritakan Pak Torren pada bapak-ku yang hanya seorang guru mengaji. Tapi satu hal yang kuingat saat di pemakaman. Tak satu-pun dari ketiga anaknya yang menangis tersedu-sedan, hanya wajah yang terlihat sedih dengan ucapan bangga: “Bapak, Kami bangga punya bapak sepertimu”. Dan istrinya bergumam lirih: “Suamiku, Engkau-lah pahlawanku”.
Sementara Aku hanya tahu: Di negriku, untuk menjadi pahlawan, orang harus mati!
---
Jakarta, 04 November 2007
Mugi Subagyo
Pak Torren benci pegawai negeri, yang berkantor di ruangan berkursi kayu dan rotan yang sudah kusam, meja kayu yang dipenuhi bekas api rokok. Di atas lemari besi panjang yang dinamakan “filling cabinet” itu berderet map kertas dalam “box file” yang tidak jelas apa fungsinya.
Ia benci pekerjaan itu, dan dengan perasaan yang dirundung kebencian, disenandungkan pertanyaan pada Tuhan yang menarik garis takdirnya justru ke pekerjaan itu; menjadi pegawai negeri, di seksi kependudukan.
Pukul satu siang, kesempatan untuk melepas unek-unek di kepalanya datang. Mereka makan siang di kantin belakang kantor walikota. Dan setelah berbasa-basi, mulai disampaikannya pandangan masyarakat yang meremehkan pegawai negeri.
“Apa salahnya pegawai negeri? Kalau-pun digambarkan sebagai sebuah jabatan yang hanya dipenuhi pengabdian dengan secuil kesejahteraan, bukankah justru pandangan ini keliru? Pegawai negeri bukanlah orang-orang yang lemah, bukan orang-orang sepele yang patut diremehkan. Pegawai negeri yang menentukan status kependudukan, status rumah seseorang, menentukan pajak, ijin usaha para pengusaha, surat keterangan berkelakuan baik, surat sengketa tanah, surat nikah atau talak, nasib sekolah anak-anak. Jadi Kita tak bisa diremehkan, kalau-pun ada, Mereka dapat Kita anggap sebagai orang yang kurang menyadari diri.” Sebuah jawaban didapat dari Pak Walikota, saat Ia tanyakan pendapatnya berkenaan dengan opini yang berkembang di masyarakat.
“Memang sebagai pegawai negeri, Kita terikat birokrasi.” Lanjut Pak Walikota.
“Tapi ini adalah suatu keniscayaan, bahwa tak ada seorang-pun mampu mengelakkannya. Bukankah sudah banyak usaha untuk menyingkirkannya, namun hasilnya adalah sebuah lelucon. Lantas siapa yang salah? Pegawai Negeri? Birokrasi? Atau orang-orang yang ingin menghapus birokrasi?” Jawabannya kali ini dirasakan sangat memojokkannya. Entah apa Ia yakin dengan jawaban ini.
“Tapi Pak, Saya pikir ada baiknya jika kita mau berhenti sesaat guna mendengarkan keinginan masyarakat kita.” Pak Torren menyampaikan pendapatnya dengan pikiran menerawang pada banyak kejadian tidak adil yang telah terjadi.
“Mereka bilang bahwa birokrasi adalah sumber kekakuan, kemacetan segala urusan, jadi, apa tidak sebaiknya Kita telaah kembali aturan yang ada untuk diperbaiki?” bujuknya.
“Jangan berpikir! Jangan gunakan perasaan! Taati saja peraturan yang ada, maka Kamu senantiasa benar dan sudah pasti selamat.”
“Ahh.. ini jawaban atau sebuah doktrin” pikir Pak Torren.
Tidak-kah Ia merasa seperti yang kurasakan? Perlakuan terhadap masyarakat yang tidak mampu, mulai dari penggusuran kios-kios kecil di sepanjang jalan, pungutan liar bila ada orang yang ingin mengurus ijin atau surat-surat. Padahal dari pedagang kaki lima itu, kita tarik setoran bertitel retribusi. Dan masyarakat, kita bebani kewajiban untuk memberikan data diri juga ijin untuk melakukan banyak hal. Bukankah mereka yang justru menggerakkan roda ekonomi, dan sebagai catatan: Mereka tidak memperoleh pekerjaan itu dari Kita, dari Birokrasi atau dari pemerintah, yang selalu berkampanye untuk mengurangi pengangguran.
Ya! Mereka bangkit dan berdiri dengan kaki sendiri, dan Kita tinggal memerasnya dengan berbagai peraturan. Tidak-kah Ia sadari bahwa adat dunia balas membalas? Apakah tenang hatinya setelah mendapat uang banyak hasil manipulasi yang dilakukan dengan bantuanku selama ini? Dana pemerintah, dana bantuan banjir, dana pendidikan, dan banyak lagi dana bantuan telah sukses dilencengkan.
Semua pertanyaan itu tinggal menjadi pertanyaan, karena Pak Walikota memberi isyarat tangan menyudahi pembicaraan sambil berlalu. Tinggal Pak Torren termangu dengan kegundahan, hingga air diminum rasa duri, nasi dimakan rasa sekam.
Lantas, apa sikapku sekarang? Menerima dan menjalankan doktrin itu? Rasanya seperti membasuh muka dengan air liur.
Jika tidak, apa Aku harus meninggalkan pekerjaan yang telah sepuluh tahun kujalani? Yang juga telah memberikan sebuah rumah berukuran 5x10 meter persegi dengan dua lantai. Sebuah rumah yang kubangun dari kumpulan amplop pemberian dari pimpinan. Otaknya tumpul, banyak ucapan berebut bicara dalam bathin bagai angin berputar dan ombak bersabung; tak jelas.
Jam tiga siang; seperti biasa Ia benahi meja kerja, kemudian pulang.
Tiga hari sebelumnya, Pak Torren bukanlah orang yang penuh pertimbangan antara akal dan perasaan. Dia adalah satu contoh dari tipikal masyarakat di negrinya, hanya saja, Ia selalu mengerjakan dengan baik segala tugas yang diembannya, dan kesetiaan pada pimpinan yang membuatnya memperoleh kepercayaan. Baginya, sekali beban terpasang di bahu, maka Ia junjung di kepala.
Hari itu, Jumat siang jam sebelas lewat. Kantornya kedatangan seseorang yang terkesan “penting”. Setelah berbicara beberapa saat di ruang kerja pimpinan, orang tersebut keluar dan berpapasan langsung dengannya. Sambil tersenyum Ia bertanya: “Maaf Pak, Dimana letak Mesjid terdekat ya?”
“Oh, Bapak keluar, lalu belok kiri, tidak jauh kemudian ada Mesjid, letaknya di sisi kanan jalan, Bapak tinggal menyeberang” Jawab Pak Torren seraya menunjuk dengan ibu jarinya.
“Oh, begitu. Terima kasih Pak” Orang Penting tersebut tersenyum, sekilas Ia perhatikan meja kerja Pak Torren yang dipenuhi arsip juga dokumen yang sepertinya dalam tahap sedang dikerjakan. Diiihatnya dokumen tersebut sebagian besar adalah proposal dari perusahaan, pesantren atau pengurus mesjid. Kemudian dengan agak lambat Ia dekati Pak Torren penuh kehati-hatian, diajukannya pertanyaan dengan lembut: “Bapak mau Jumatan bareng dengan Saya?”
“Maaf, Saya masih sibuk, Saya tidak punya waktu” Tanpa menoleh Pak Torren melanjutkan pekerjaannya. Mungkin ingin menunjukkan ke orang lain, bahwa pegawai negri bukanlah pengangguran terselubung seperti pendapat orang kebanyakan.
“Wah! Hati-hati lho Pak!” masih dengan senyum, Orang Penting ini mengingatkan.
“Maksud Bapak?” Tanya Pak Torren dengan nada bingung dan sedikit tersinggung.
“Oh Tidak, Saya tak bermaksud apa-apa, hanya mengingatkan bahwa sebaiknya Kita senantiasa berhati-hati dalam ucapan, karena bila Tuhan menjawab pinta Kita, dan memberikan Kita waktu yang lebih banyak, bukankah Kita malah jadi susah?” Orang ini menjawab dengan tebu yang ditanam di bibir; manis sekali.
“Waktu yang banyak, bisa berarti kita kehilangan banyak, mungkin kehilangan istri dan anak atau keluarga, kehilangan pekerjaan, kehilangan harta. Atau meski itu semua tidak Kita miliki, bisa saja kita kehilangan kesehatan. Bukankah dengan itu semua Kita akan memiliki waktu lebih banyak?” Keduanya sunyi sejenak.
“Ya sudah Pak, maaf kalau ucapan Saya tidak berkenan di hati Bapak.” Sambil membungkukkan badan “Saya hanya sekedar mengingatkan sebagai sesama saudara, agar Kita senantiasa menjadi orang yang mawas diri tanpa perlu dipaksa oleh Tuhan” Masih dengan senyum “Saya permisi ya Pak!” Dan Ia pun melangkah menuju ke anak tangga, meninggalkan Pak Torren dengan gedoran keras di pintu hatinya. Pak Torren tidak lagi mempertanyakan siapa gerangan bapak tadi, juga maksud kedatangan di kantornya, karena nanti pasti Pak Walikota akan menyampaikan perihal orang tersebut. Namun gedoran itu mampu membuka pintu hati yang selama ini macet oleh karat.
Sudah tiga bulan lebih, Pak Torren aktif berorganisasi di luar kegiatan kantor. Bersama organisasi pemuda dan masyarakat, Ia turut mendukung aksi yang menuntut pemerintahan yang baik di instansinya. Awalnya banyak orang ragu akan perubahan sikap ini, namun kelamaan Mereka percaya. Bukan hanya masyarakat yang senang dengan perubahan ini, anak dan istrinya-pun mendukung, karena selama ini Mereka dikucilkan tetangga karena dianggap sebagai istri dan anak-anak yang dibesarkan dari hasil korupsi.
Namun tidak semua orang suka melihat perubahan ini. Pak Walikota sering menegurnya berkali-kali bahkan mengancam. Hingga Sabtu pagi rumah Pak Torren dan beberapa rumah di sekitarnya terbakar. Mungkin si pelaku ingin memberikan penerangan agar dipahami Pak Torren. Sayangnya teguran ini tidak berhasil. Maklum, api bisa membakar banyak, tapi menerangi hanya sebentar.
Meski Pak Torren meyakini satu hal, bahwa tak ada jalan yang pasti untuk menang, namun ada jalan yang pasti untuk tidak kalah, yaitu jangan bertanding. Pak Torren memilih bertanding, dengan hasil tubuh penuh luka bakar saat berusaha menyelamatkan anaknya yang masih kecil di lantai atas, ketika kebakaran terjadi. Keluarganya selamat.
Di rumah sakit, kunjungan orang penting yang pernah menasihatinya, sanggup membuat ceria. Orang tersebut, Pak Sungkono dari Badan Pemberantasan Korupsi. Dia menerima tumpukan dokumen dari anak Pak Torren. Dengan data ini, jatuh hukuman kurungan tiga tahun lamanya untuk Pak Walikota, hanya Sang Walikota. Tidak ada lapisan diatasnya yang ikut menginap di bui. Pak Walikota pasang badan sendirian, gagah berani. Hukuman orang seperti ini, biasanya akan banyak mendapat remisi, potong masa tahanan; bantuan dari “orang atas” yang telah menganggapnya pahlawan penyelamat muka. Sayangnya Pak Torren tidak bertahan lama untuk melihat hasil perjuangannya, entah karena luka bakar yang diderita atau memang Tuhan ingin segera menemuinya untuk sesuatu yang abadi yang bakal diterima; Pak Torren mangkat sebagai pahlawan.
Anak-anak dan istri Pak Torren menginap sementara di rumahku yang terletak tidak jauh dari lokasi kebakaran, sebelum akhirnya mereka kembali ke kampungnya, di Purwokerto.
Aku tidak begitu mengenal Pak Torren serta tindak-tanduknya. Aku hanya mengenal anaknya yang sebaya denganku, tapi dari bapak-ku kisah ini diceritakan. Entah apa saja yang pernah diceritakan Pak Torren pada bapak-ku yang hanya seorang guru mengaji. Tapi satu hal yang kuingat saat di pemakaman. Tak satu-pun dari ketiga anaknya yang menangis tersedu-sedan, hanya wajah yang terlihat sedih dengan ucapan bangga: “Bapak, Kami bangga punya bapak sepertimu”. Dan istrinya bergumam lirih: “Suamiku, Engkau-lah pahlawanku”.
Sementara Aku hanya tahu: Di negriku, untuk menjadi pahlawan, orang harus mati!
---
Jakarta, 04 November 2007
Mugi Subagyo
0 Comments:
Post a Comment
<< Home