KARUNIA
Niken,
Jika memang ada cinta sejati, maka ia adalah cinta yang terdiri dari dua orang saja dan tak ada tempat buat orang ketiga.
Pernah memang kugenggam sangat erat, tapi cinta itu mati.
Kini kugenggam longgar, cintamu menjauhi.
Niken,
Jika keutamaan dari cinta adalah pengorbanan, mengapa;
Aku haturkan bunga padamu,
tapi kau bilang masih
Aku persembahkan resahku padamu,
tapi kau bilang hanya
Aku berikan darahku padamu,
tapi kau bilang cuma
Aku bawakan mimpiku padamu,
tapi kau bilang meski
Aku kirimkan dukaku padamu,
tapi kau bilang tapi
Aku serahkan mayatku padamu,
tapi kau bilang hampir
Aku pasrahkan arwahku padamu,
tapi kau bilang kalau
Tanpa apa Aku datang padamu?
Niken,
Jika kaugeser tempatku karena asmara dan bukan oleh bara cemburu,
semoga ia memberikan kidung lembut. Semoga asmara menebarkan aroma seribu bunga, semoga ia merona indah.
Sementara, biarkan Aku sepanjang masa
Berlutut di atas hamparan duka.
Niken,
Sungguh cinta sekejam kematian dan cemburu sekejam kuburan.
Dari yang pernah di dekatmu…
---
“Apakah Kamu menyalahkan Aku atas peristiwa ini?” Tanya Lia padaku, saat mengembalikan surat yang kuperlihatkan padanya. Setelah lebih dari sebulan, suratku kembali dengan tambahan dua buah garis besar yang bersilang.
“Awalnya iya!” Jawabku. “Tapi kini Aku tidak tahu lagi. Aku tidak tahu siapa yang salah, tidak tahu apa yang harus kuperbuat, bahkan tidak tahu lagi apa yang kupikirkan.”
“Kamu tidak menggunakan pikiran sudah sejak lama, yang kutahu sejak kaukenal Niken, pikiranmu hanya berputar pada mimpi.” Ucap Lia dengan bersungut.
“Lho? Kenapa sekarang jadi Kamu yang menyalahkan Aku?” Aku tersinggung. “Kan Kamu yang mengusulkan kita cari hadiah di Mal tersebut? Kamu yang mengusulkan Kita cari perlengkapan kosmetik buat Niken. Kemudian Niken melihat kita jalan bergandengan.” Balik kuserang Lia dengan kenyataan.
“Iya, memang betul itu semua Aku yang mengusulkan, tapi apa Kamu tahu mengapa Aku menyarankan membeli kosmetik?” Tanya Lia yang sepertinya tidak juga paham, bahwa saat ini aku malas berpikir.
“Mana Aku tahu? Pokoknya Kamu yang mengusulkan itu!” Jawabku kesal.
“Dan itu salah satu contoh Kamu tidak bisa lagi berpikir.” Ucap Lia enteng. “Apakah Kamu juga tahu mengapa wanita lebih suka tampil cantik daripada tampil cerdas?” Kembali Lia bertanya. “Karena laki-laki lebih suka melihat wanita yang cantik daripada wanita yang cerdas!” Lanjut Lia tanpa menunggu jawabanku. “Jadi, laki-lakilah yang membentuk wanita-wanita kebanyakan, hanya ingin cantik, seksi, menggemaskan dan menggairahkan.”
“Tapi Niken tidak begitu, dan Aku juga bukan laki-laki seperti itu!” Bantahku.
“Itu katamu! Tapi tidak tidak menurut orang lain. Apa Kamu buta, tidak bisa melihat dan mendengar nasihat baik dari teman-teman sekelas? Mereka lebih dulu kenal Niken dan mereka tahu gaya hidup Niken seperti apa. Sementara Kamu yang baru kenal sesaat sudah langsung jatuh cinta, bahkan bangga bisa kencan dengannya.”
Memang teman-teman kuliah sudah banyak menasihati dan mencoba memberitahu soal Niken yang senang berganti teman kencan. Sebagai mahasiswa pindahan yang langsung ikut di semester ketiga, Aku sudah memiliki banyak teman yang sebagian adalah teman-temanku di SMA dulu, termasuk Lia.
“Tapi Niken marah dan memutuskan hubungan denganku karena cemburu, bukan karena itu!” Jawabku ragu.
“Itu alasan!”
“Dia sudah tahu tentang Kita sebelum Kamu pindah ke kampus ini, dan Dia juga tahu semua tentangmu, kecuali tentang Mira.”
“Lho, kenapa Kamu sebut-sebut tentang Mira? Apa Kamu cerita padanya tentang hubunganku dengan Niken?” Ada sedikit kecemasan di hatiku.
“Buat apa Aku cerita tentangmu. Itu hanya akan menyakiti hatinya. Meski Aku tahu Mira tetap akan memaafkanmu seperti yang sudah-sudah.” Jawab Lia yang melegakan hatiku, sekaligus menyesakkan. Aku termenung sesaat mengingat Mira. Lima bulan sudah, aku tidak berkunjung ke rumahnya dengan alasan sibuk mempersiapkan ujian.
“Ah..! Mengapa Aku jadi begitu bodoh?” batinku. Kemudian terlintas di benakku, Mira yang penuh kelembutan, pengertian dan kasih sayang seperti ibuku sendiri. Hal ini rupanya yang membuatku bosan, tidak ada letupan, tidak ada tantangan, hanya ketenangan dan ketentraman. Tapi apa yang sesungguhnya kucari?
Aku dengar Lia masih terus bicara, entah apa yang dikatakannya padaku. Aku hanya menyaksikan Niken lewat di depanku, duduk di sisi kiri depan dalam sedan biru mengkilat. Di atas pagar besi jembatan penghubung kampus dengan jalan raya, aku duduk masih terus mendengarkan omongan Lia.
“Hei! Kamu masih sadar?” bentak Lia. Ah Kamu Lia, ternyata kamu juga cantik meski berpostur kecil. Kemudian pandanganku berkeliling ke kanan-kiri, Ada ibu dosen fisika yang cantik, Mbak Lela pelayan kantin juga cantik, kakak kelas, adik kelas semua terlihat cantik. Ya Tuhan, mengapa karunia kecantikan Engkau berikan kepada banyak wanita?
“Hei!” Kembali Lia membentak sambil menepuk bahu yang hampir membuatku jatuh terjengkang ke belakang. “Sekarang Kamu mulai seperti orang gila, senyum dan geleng-geleng kepala seperti orang bingung.”
“Kamu yang gila! Hampir saja Aku tercebur di sungai ini.” Aku mengomel dengan masih berpegang pada tonggak beton penyangga besi, yang justru membuat Lia tertawa. Sepertinya dia akan terus tertawa kalau aku tidak segera berdiri turun dari dudukku di atas besi jembatan.
“Ya sudah yuk Kita pulang! Kamu mau pulang atau ke tempat kost?” Tanya Lia.
“Belum tahu nih.” Jawabku seraya mengeluarkan handphone dari dalam tas ransel.
“Oke deh.. Aku Cuma mengingatkan: Mungkin Tuhan menginginkan Kamu bertemu dengan beberapa orang yang salah sebelum bertemu dengan orang yang tepat, Kamu harus mengerti bagaimana berterima kasih atas karunia itu.” Ucap Lia sambil matanya memperhatikanku memencet tombol handphone.
“Kirim sms buat siapa?” Tanyanya curiga.
“Buat Niken.”
Langsung saja wajah Lia cemberut, kemudian berlalu pergi tak lagi menghiraukan aku.
Niken, terima kasih atas pelajaran darimu, juga terima kasih kamu kembalikan suratku. (Semoga belum kamu fotokopi).
Setelah sms kukirimkan, aku berlari mengejar Lia. Baru setengah perjalanan menuju Lia, handphoneku berdering. “Hm.. tumben Niken balas smsku?”
Ternyata dari Mira.
Semoga kamu mendapatkan kebahagiaan yang cukup untuk membuatmu baik hati, cobaan yang cukup untuk membuatmu kuat, kesedihan yang cukup untuk membuatmu manusiawi, pengharapan yang cukup untuk membuatmu bahagia dan uang yang cukup untuk membeli segala keperluanmu. Penuh cinta selalu -Mira-
Sekarang aku tahu kemana tujuanku.
Jakarta, 24 Desember 2007
Mugi Subagyo
Jika memang ada cinta sejati, maka ia adalah cinta yang terdiri dari dua orang saja dan tak ada tempat buat orang ketiga.
Pernah memang kugenggam sangat erat, tapi cinta itu mati.
Kini kugenggam longgar, cintamu menjauhi.
Niken,
Jika keutamaan dari cinta adalah pengorbanan, mengapa;
Aku haturkan bunga padamu,
tapi kau bilang masih
Aku persembahkan resahku padamu,
tapi kau bilang hanya
Aku berikan darahku padamu,
tapi kau bilang cuma
Aku bawakan mimpiku padamu,
tapi kau bilang meski
Aku kirimkan dukaku padamu,
tapi kau bilang tapi
Aku serahkan mayatku padamu,
tapi kau bilang hampir
Aku pasrahkan arwahku padamu,
tapi kau bilang kalau
Tanpa apa Aku datang padamu?
Niken,
Jika kaugeser tempatku karena asmara dan bukan oleh bara cemburu,
semoga ia memberikan kidung lembut. Semoga asmara menebarkan aroma seribu bunga, semoga ia merona indah.
Sementara, biarkan Aku sepanjang masa
Berlutut di atas hamparan duka.
Niken,
Sungguh cinta sekejam kematian dan cemburu sekejam kuburan.
Dari yang pernah di dekatmu…
---
“Apakah Kamu menyalahkan Aku atas peristiwa ini?” Tanya Lia padaku, saat mengembalikan surat yang kuperlihatkan padanya. Setelah lebih dari sebulan, suratku kembali dengan tambahan dua buah garis besar yang bersilang.
“Awalnya iya!” Jawabku. “Tapi kini Aku tidak tahu lagi. Aku tidak tahu siapa yang salah, tidak tahu apa yang harus kuperbuat, bahkan tidak tahu lagi apa yang kupikirkan.”
“Kamu tidak menggunakan pikiran sudah sejak lama, yang kutahu sejak kaukenal Niken, pikiranmu hanya berputar pada mimpi.” Ucap Lia dengan bersungut.
“Lho? Kenapa sekarang jadi Kamu yang menyalahkan Aku?” Aku tersinggung. “Kan Kamu yang mengusulkan kita cari hadiah di Mal tersebut? Kamu yang mengusulkan Kita cari perlengkapan kosmetik buat Niken. Kemudian Niken melihat kita jalan bergandengan.” Balik kuserang Lia dengan kenyataan.
“Iya, memang betul itu semua Aku yang mengusulkan, tapi apa Kamu tahu mengapa Aku menyarankan membeli kosmetik?” Tanya Lia yang sepertinya tidak juga paham, bahwa saat ini aku malas berpikir.
“Mana Aku tahu? Pokoknya Kamu yang mengusulkan itu!” Jawabku kesal.
“Dan itu salah satu contoh Kamu tidak bisa lagi berpikir.” Ucap Lia enteng. “Apakah Kamu juga tahu mengapa wanita lebih suka tampil cantik daripada tampil cerdas?” Kembali Lia bertanya. “Karena laki-laki lebih suka melihat wanita yang cantik daripada wanita yang cerdas!” Lanjut Lia tanpa menunggu jawabanku. “Jadi, laki-lakilah yang membentuk wanita-wanita kebanyakan, hanya ingin cantik, seksi, menggemaskan dan menggairahkan.”
“Tapi Niken tidak begitu, dan Aku juga bukan laki-laki seperti itu!” Bantahku.
“Itu katamu! Tapi tidak tidak menurut orang lain. Apa Kamu buta, tidak bisa melihat dan mendengar nasihat baik dari teman-teman sekelas? Mereka lebih dulu kenal Niken dan mereka tahu gaya hidup Niken seperti apa. Sementara Kamu yang baru kenal sesaat sudah langsung jatuh cinta, bahkan bangga bisa kencan dengannya.”
Memang teman-teman kuliah sudah banyak menasihati dan mencoba memberitahu soal Niken yang senang berganti teman kencan. Sebagai mahasiswa pindahan yang langsung ikut di semester ketiga, Aku sudah memiliki banyak teman yang sebagian adalah teman-temanku di SMA dulu, termasuk Lia.
“Tapi Niken marah dan memutuskan hubungan denganku karena cemburu, bukan karena itu!” Jawabku ragu.
“Itu alasan!”
“Dia sudah tahu tentang Kita sebelum Kamu pindah ke kampus ini, dan Dia juga tahu semua tentangmu, kecuali tentang Mira.”
“Lho, kenapa Kamu sebut-sebut tentang Mira? Apa Kamu cerita padanya tentang hubunganku dengan Niken?” Ada sedikit kecemasan di hatiku.
“Buat apa Aku cerita tentangmu. Itu hanya akan menyakiti hatinya. Meski Aku tahu Mira tetap akan memaafkanmu seperti yang sudah-sudah.” Jawab Lia yang melegakan hatiku, sekaligus menyesakkan. Aku termenung sesaat mengingat Mira. Lima bulan sudah, aku tidak berkunjung ke rumahnya dengan alasan sibuk mempersiapkan ujian.
“Ah..! Mengapa Aku jadi begitu bodoh?” batinku. Kemudian terlintas di benakku, Mira yang penuh kelembutan, pengertian dan kasih sayang seperti ibuku sendiri. Hal ini rupanya yang membuatku bosan, tidak ada letupan, tidak ada tantangan, hanya ketenangan dan ketentraman. Tapi apa yang sesungguhnya kucari?
Aku dengar Lia masih terus bicara, entah apa yang dikatakannya padaku. Aku hanya menyaksikan Niken lewat di depanku, duduk di sisi kiri depan dalam sedan biru mengkilat. Di atas pagar besi jembatan penghubung kampus dengan jalan raya, aku duduk masih terus mendengarkan omongan Lia.
“Hei! Kamu masih sadar?” bentak Lia. Ah Kamu Lia, ternyata kamu juga cantik meski berpostur kecil. Kemudian pandanganku berkeliling ke kanan-kiri, Ada ibu dosen fisika yang cantik, Mbak Lela pelayan kantin juga cantik, kakak kelas, adik kelas semua terlihat cantik. Ya Tuhan, mengapa karunia kecantikan Engkau berikan kepada banyak wanita?
“Hei!” Kembali Lia membentak sambil menepuk bahu yang hampir membuatku jatuh terjengkang ke belakang. “Sekarang Kamu mulai seperti orang gila, senyum dan geleng-geleng kepala seperti orang bingung.”
“Kamu yang gila! Hampir saja Aku tercebur di sungai ini.” Aku mengomel dengan masih berpegang pada tonggak beton penyangga besi, yang justru membuat Lia tertawa. Sepertinya dia akan terus tertawa kalau aku tidak segera berdiri turun dari dudukku di atas besi jembatan.
“Ya sudah yuk Kita pulang! Kamu mau pulang atau ke tempat kost?” Tanya Lia.
“Belum tahu nih.” Jawabku seraya mengeluarkan handphone dari dalam tas ransel.
“Oke deh.. Aku Cuma mengingatkan: Mungkin Tuhan menginginkan Kamu bertemu dengan beberapa orang yang salah sebelum bertemu dengan orang yang tepat, Kamu harus mengerti bagaimana berterima kasih atas karunia itu.” Ucap Lia sambil matanya memperhatikanku memencet tombol handphone.
“Kirim sms buat siapa?” Tanyanya curiga.
“Buat Niken.”
Langsung saja wajah Lia cemberut, kemudian berlalu pergi tak lagi menghiraukan aku.
Niken, terima kasih atas pelajaran darimu, juga terima kasih kamu kembalikan suratku. (Semoga belum kamu fotokopi).
Setelah sms kukirimkan, aku berlari mengejar Lia. Baru setengah perjalanan menuju Lia, handphoneku berdering. “Hm.. tumben Niken balas smsku?”
Ternyata dari Mira.
Semoga kamu mendapatkan kebahagiaan yang cukup untuk membuatmu baik hati, cobaan yang cukup untuk membuatmu kuat, kesedihan yang cukup untuk membuatmu manusiawi, pengharapan yang cukup untuk membuatmu bahagia dan uang yang cukup untuk membeli segala keperluanmu. Penuh cinta selalu -Mira-
Sekarang aku tahu kemana tujuanku.
Jakarta, 24 Desember 2007
Mugi Subagyo
0 Comments:
Post a Comment
<< Home